Gggyyyuuurrr!
"Tsunami! Tsunami!" Aku berteriak-teriak di atas kasur.
"Tsunami datang dari gunung mana, hah?!" Ayah balas berteriak.
Aku mulai sadar, ternyata aku bangun terlambat.
"Di sekitar sini tidak ada lautan! Pantai terdekat pun jaraknya sekitar seratus kilometer dari kota ini! Berapa tinggi gelombang itu, sampai-sampai air tsunami bisa sampai ke mari?!"
Aku sedang tidak ingin menanggapi perkataan Ayah. Aku memilih untuk segera ke kamar mandi. Tak perlu melihat atau menanyakan jam. Ini pasti sudah lewat jam enam pagi jika Ayah berubah menjadi ganas dan menyiramku dengan air. Lagi pula barusan aku hanya merasa diterjang oleh gelombang besar pada saat di alam mimpi. Sampai-sampai aku berteriak seperti itu.
Setelah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian, aku menghampiri Ayah dan Bunda di meja makan. Masih ada waktu sepuluh menit untuk memakan bubur ayam Mang Oding.
"Baru sehari, kemarin, kau tidak terlambat. Sekarang sudah terlambat lagi," gerutu Ayah.
"He, he, he." Aku mencoba tertawa. Ini semua gara-gara kejadian kemarin di sekolah. Aku jadi tidak bisa tidur malam karena otakku dipenuhi oleh pertanyaan.
Apa yang terjadi kemarin adalah sesuatu yang mengejutkan. Seseorang bisa saja mendadak gila atau terkena serangan jantung ketika melihat anak SMA bersenjata melawan tiga krustasea mutan yang berkeliaran di sekitar sekolah. Karena otak mereka tidak bisa memproses data apa yang sedang mata mereka lihat. Tapi itu cukup aneh ketika tidak terjadi padaku dan Tristan. Maksudku, aku bersyukur aku tidak gila dan terkena serangan jantung, namun aku tetap saja merasakan yang aneh dalam otakku. Aku merasa otakku akan meledak karena pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran di dalam benak. Itu sebabnya aku tidak bisa tidur.
Setelah sarapan pagi selama sepuluh menit, aku memutuskan untuk berangkat tanpa menunggu kedatangan Tristan. Aku tidak mau tertinggal bis sekolah lagi. Febri tidak akan setiap hari berangkat seperti kemarin. Dia anak kuliahan, awal jam pelajarannya tidak selalu dimulai pukul tujuh pagi. Lagi pula ini sudah pukul enam lewat tiga puluh lima menit. Seharusnya Tristan sudah datang sepuluh menit yang lalu, pada saat aku sedang sarapan. Tapi dia masih belum datang. Jadi aku asumsikan saja bahwa dia berangkat bersama Bang Ajun lagi.
Sepuluh menit aku berjalan, aku sampai di halte. Bis sekolah masih terparkir di sana. Aku pikir aku akan bertemu Nova. Tapi dia belum terlihat. Aku mengangkat jam yang melekat di pergelangan tangan kiriku. Masih ada waktu lima menit lagi sebelum bis sekolah berangkat. Aku berjalan santai menuju bis. Namun, sesuatu yang tidak aku rencanakan terjadi.
Di sebrang sana, tepat di trotoar, seorang anak berumur sekitar enam tahun sedang memainkan bola merah kecil di tangannya. Dia melemparkannya ke udara, lalu jatuh ke telapak tangannya. Terus seperti itu. Lalu, di lemparannya yang ke tujuh, bola tersebut tidak terjatuh ke telapak tangannya, melainkan ke trotoar. Bola merah itu memantul-mantul di trotoar, lalu menggelinding ke tengah-tengah jalan, tepat di garis putih yang memanjang.
Jalanan cukup sepi. Tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang, tidak pula banyak orang yang berada di tempat tersebut. Hanya beberapa pekerja kantoran dan seorang ibu yang akan pergi ke pasar. Anak itu menggigit bibir bagian bawahnya. Tidak ada seorang pun yang memperhatikannya kecuali aku. Aku mengembuskan napas dan berjalan ke tengah jalan untuk membantunya mengambil bola merah tersebut. Aku bertanya-tanya dimana ibu anak itu, atau orang tua yang bertanggung jawab terhadapnya. Dan aku berharap anak itu diam saja di tempatnya berdiri sampai aku mengembalikan bola merah itu padanya.
Tapi, kadang apa yang kita harapkan tidak selalu terkabul. Jujur, aku agak sedikit benci kalimat itu, sekarang, saat ini. Karena anak itu berlari ke tengah jalan, tanpa memperhatikan sebuah truk kuning, yang sepertinya baru saja mengangkut pasir, melaju cepat dari arah barat. Mataku terbelalak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aran Alali #1: Hujan Darah Iblis
Fantasy[SELESAI] [FANTASI] [13+] "Aku pikir, hidupku normal seperti remaja empat belas tahun lainnya. Hanya memusingkan tentang pacaran, jerawat, bermain, dan sebagainya. Tapi, hidupku lebih daripada itu." Aran, seorang remaja yang kehidupnya seketika ber...