"Waa!"
"Woohoo!"
Suara teriakan dari ruang depan diikuti gaduh seseorang menabrak meja mengganggu tidur Hensel pagi ini di kamar kostnya. Terusik, kakinya bergerak. Ia menarik bantal menutupi telinganya.
"Si oncom pecicilan amat sih." Yangga yang sedang asyik main playstation di samping tempat tidur Hensel menggerutu.
"Hen, Hen! Yang! Tanda gue udah muncul!" seru Denan dari ambang pintu kamar itu tanpa ditanya. Napasnya terengah.
"Woi, tanda gue udah nongol. Liat nih bener Gemintang jodoh gue!" ulangnya sambil memamerkan rangkaian huruf yang mirip tato di lengan kanan bagian dalamnya.
Yangga spontan menoleh.
"Eh, serius?"
"Terima kasih Tuhan, akhirnya gue nggak ditakdirkan menjomblo seumur hidup," Denandis mengusap dadanya.
"Coba mana liat." Yangga mem-pause game-nya, ia mulai penasaran dan menarik tangan Denan untuk membaca tulisan berwarna hitam yang masih samar itu.
"Apaan, ini tuh bacanya 'Gem'. Siapa bilang udah pasti Gemintang?" Yangga menyabet tangan itu.
"Gem ya siapa lagi kalo bukan Gemi. Gemintang, dudul!"
"Bisa aja Gempi, Gembil, Gemas, atau Gembel hehe ... Gem-Gem yang lain! Belom lengkap tuh."
"Bilang aja lo iri nggak punya?"
Dengan wajah pongah, Denan membangunkan Hensel yang masih meringkuk lelap, terus menepuk kakinya. "Eh, bangun. Ngampus woi. Udah siang!"
Yangga masih tak mau kalah. "Kan gue belom punya pacar, ya wajar belom muncul."
"Bang Ojil juga belum punya cewek tapi tanda namanya udah muncul. Dia tinggal cari cewek yang namanya Marina, sesuai sama yang ada di tangannya. Enak kan? Hayo ..."
"Hmm ...," Yangga menyentuh dagu. "Marina-nya harus yang punya nama Ojil di tangannya, kan? Tetep aja susah dong ngecek satu-satu?"
"Susah apanya sih. Ini kan udah turun temurun. Yang penting jelas dulu namanya siapa. Udah pasti punya jodoh. Lo-lo belom kan, hahaha!" Denan memamerkan tawa kemenangan. Yangga tampak sebal.
"Lo juga harus mastiin tulisan di tangan Gemi itu nama lo, jangan main yakin dulu."
Tawa Denan terhenti. "Iya juga ya. Gemi udah punya belom, ya? Aarrgh!" Ia mengacak rambut. Sebuah bantal tiba-tiba mengenai kepalanya.
"Aduh."
"Berisik banget lo semua!" tukas Hensel, si pelempar. Ia yang merasa terganggu dengan suara ribut, kembali memejam. "Gituan aja dipercaya."
"Yee, cing garong. Emangnya mak bapak lo nggak punya juga apa? Gak usah sok gak percaya deh, udah banyak buktinya. Nih, liat nih. Bangun makanya!"
"Biarin aja, dia nggak mau punya jodoh kali," celetuk Yangga usil.
Hensel membuka mata dan langsung menatap Yangga. "Heh, omongan." Sedikit penasaran, ia beralih melihat lengan Denan. "Emang kapan lo nyadarnya?"
"Tadi pas mandi. Tau-tau muncul, nggak bisa ilang." Denan mencoba menggosok-gosoknya.
"Lo nggak mau ngucapin selamat gitu? Ini kan salah satu momen tanda kedewasaan gue!" Denan menatap kedua temannya bergantian.
Hensel menggaruk kepalanya, memilih tidak merespons itu. Dia bertanya hal lain.
"Bisa tau-tau muncul gitu gimana coba jelasin?"
"Yaa, mana gue tahu. Namanya juga takdir."
Hensel lalu duduk dan makin mendekatkan pandangannya. "Font-nya jenis apa ya, itu?"
"Si anjir."
"Kali aja bisa ditulis sendiri." Hensel memasang wajah sok tahu.
"Udah, buruan tanya gebetan lo si Gemi. Pastiin sana dia punya nama lo nggak," suruh Yangga.
"Oh, iya!"
Seiring dengan langkah penuh semangat Denan keluar dari kamar di lantai bawah itu, Yangga juga mematikan televisi dan playstation bersiap menuju kampus pagi ini.
Sepeninggal kedua orang terdekatnya itu, Hensel memandangi seluruh bagian lengan kanan kirinya yang masih kosong--mulus hanya ada bulu tangan dan sebuah gelang ikat di sana. Ia agak tersenyum miring sambil menepuk lengannya sendiri, menyibak selimut lalu bergegas mandi.
.・゜゜・ ・゜゜・.
Hensel memang orangnya begitu,
Suka sok cuek tapi mikirin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Name | Hendery ✔
Fanfiction[FINISHED] Di dunia ini, ketika setiap orang yang berjodoh atau memadu kasih memiliki nama pasangan masing-masing tertulis pada bagian tubuhnya, Hensel menolak percaya. Sampai ia melihat sendiri teman-temannya satu per satu menunjukkan nama kekasih...