9. Drama

144 29 8
                                    

Sesampainya di sekolah, aku langsung diantar Tristan ke UKS. Kata Suster Perawat, kakiku tidak apa-apa. Dia bilang aku hanya sedikit terkejut, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kecuali jika aku merasakan pusing dan mual beberapa hari yang akan datang, aku harus segera memeriksakan diri ke rumah sakit. Suster Perawat pun mengobati tanganku yang tergores dengan menempelkan plester. Lalu aku menunggu Bunda datang untuk mengantarkan sepatu.

Tristan menemaniku. Sedangkan Nova sepertinya terlambat lagi. Karena aku tidak melihatnya di bis.

Ngomong-ngomong soal bis, tadi di bis sangat ramai. Semua orang meminta penjelasan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Tapi aku tidak perlu capek-capek menjelaskannya kepada mereka semua, karena Tristan dengan senang hati melakukan hal itu, dia sedikit suka menjadi pusat perhatian. Sampai-sampai dia melebih-lebihkan ceritanya, agar para siswa semakin heboh dan tak ingin berpaling darinya. Lagi pula Tristan mungkin adalah pemandangan paling impresif yang ada di dalam bis waktu itu.

Dan itu cukup berhasil. Para siswa tidak mengindahkan peringatan dari Pak Sopir yang menyuruh mereka duduk di kursi masing-masing, dan memilih untuk memperhatikan Tristan saja.

Tapi ada juga seseorang yang memilih bertanya langsung padaku. "Kau tidak apa-apa, Aran?" tanyanya, dengan suaranya yang polos dan kalem, tapi wajahnya terlihat khawatir.

Dia tiba-tiba duduk di kursi tempat duduk Tristan yang kosong, tepat berada di samping kiriku. "Kenapa bisa terbakar, sih?"

Aku mengembuskan napas. "Kau dengarkan saja Tristan bercerita, Ka." Sambil tersenyum kecil.

Chika malah menunduk, wajahnya kembali merona, terlihat jengah. Ya, cewek yang sedang bertanya padaku ini adalah Chika. Siapa lagi?

Ya, hanya begitu pembicaraan singkatnya. Chika terlihat sangat jengah sampai-sampai membuatnya tidak bisa lagi berkata-kata. Di sisa perjalanan itu dia hanya menunduk, wajahnya masih berpaling dariku dan merona, jangan lupakan senyuman jengahnya yang... apa yang terjadi padaku? Kenapa aku menyebutnya lucu? Tapi itu memang benar, perilakunya yang seperti itu membuatnya terlihat lucu bagiku.

Akhirnya Bunda datang sambil menjinjing paper bag cokelat di tangan kanannya. Tebakanku, di dalamnya ada sepatu. Dia duduk di samping kananku, sedangkan Tristan berada di samping kiriku. Aku mencium tangannya, begitu pula dengan Tristan.

Bunda menyimpan paper bag itu di lantai, dan mulai bertanya. Dimulai dari apakah aku baik-baik saja, sampai kronologi kejadian itu bisa terjadi. Aku dan Tristan menjelaskannya secara bergantian. Kami berdua pun saling melirik ketika akan menanyakan sesuatu kepada Bunda. Aku ingin menanyakan sesuatu yang berhubungan dengan kemarin, obrolan yang Bunda bicarakan bersama Bang Ahad, dan... pembicara malam itu. Namun kami berdua tidak bisa mengeluarkan suara. 

Bunda tersenyum. "Kalian mungkin bertanya-tanya apa yang terjadi. Kenapa ini bisa terjadi, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya," kata Bunda. "Oh iya, Tristan. Apa kau menanyakan hal ini kepada kakak-kakakmu atau, papa dan mamamu?"

Tristan terdiam. Raut wajahnya terlihat aneh. Persekian detik, tatapan matanya goyang——seperti kobaran api, napasnya yang tiba-tiba terhenti, dan tubuhnya pun tiba-tiba menegang secara halus. Aku sudah tahu, dia menyembunyikan sesuatu dariku.

"Sepertinya aku kebelet pipis, aku ke toilet dulu, ya, Tante, Aran." Dengan raut wajah meringis dan kedua tangannya yang memegangi kemaluan, dia berlari keluar ruangan. Dia kabur. Aku tahu itu.

Aku melirik Bunda. Bunda tersenyum membalasku. "Jadi, Bunda, bagaimana? Apa yang terjadi?"

Bunda masih tersenyum, dia mengembuskan napasnya. "Bang Ahad sudah berjanji, dia akan menceritakannya kepada kalian besok, di rumah Kakek Ali (ayahnya Bunda). Jadi, Bunda mohon, simpan semua pertanyaanmu sampai besok."

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang