Cita-citaku

1.9K 599 62
                                    

Daniel menjadi yang paling gundah ada di sana. Sorotan matanya masih menatap kubah biru dengan salib di atasnya. Burung-burung sudah mulai terbang mengelilingi kubah itu. Sorotan sinar mentari membuat sebagian warna biru terlihat lebih muda dan menciptakan gradasi.

Ia mulai berputar pada pijakan yang sama. Bangunan dengan tiang-tiang besar di mana ujungnya memiliki relief gulungan daun acanthus. Ia mulai berjalan memasuki fasad melihat detail ukiran gambar tokoh-tokoh ternama juga lukisan di atap gedung dan detail relief di bawah peristyle.

Dua tahun kuliah di gedung ini, tak tahu apa yang sudah Daniel lakukan. Ia bahkan tak menyadari jika kampus ini layaknya galeri seni yang memiliki rasa cipta yang tinggi.

Terperanjat Daniel ketika seseorang menepuk bahunya. Ia berbalik menatap wajah gadis berambut hitam panjang lurus di sana. "Es krim!" tagih gadis itu. Senyumnya begitu indah seperti komorebi dalam kegelapan hutan.

"Belum beli, masa harus diboyong sama kulkasnya ke sini. Kamu juga lama di dalam sana. Lagu musyawarah kelurahan?" Daniel melipat tangan di dada. Tas selempangan yang menggantung di bahu bergeser ke belakang.

"Mereka meluluskan tesisku. Hanya saja mereka kecewa karena aku menolak sesuatu," cerita Tiffany. Gadis itu menarik lengan Daniel agar diturunkan kemudian memaksa agar Daniel mengikutinya.

"Ada tawaran magang di Vienna. Mereka ingin aku mempelajari tentang seni pertunjukan di sana," cerita Tiffany. Sesekali wanita itu memperhatikan jalan yang ia lalui karena sibuknya mahasiswa berlalu lalang melewati koridor gedung.

Sinar matahari mulai redup tanda keduanya mulai memasuki lobi menuju pintu keluar. "Kenapa? Bukannya bagus, kau bisa jalan-jalan."

Gelengan kepala Tiffany lagi-lagi menegaskan keputusannya. "Aku mah pulang. Ijazahku keluar Juni ini. Sampai itu, aku lebih memilih belajar membuat roti dengan Madame Berenice."

Daniel terkekeh. Membuka pintu kaca gedung, mereka langsung turun ke paviliun jalan. Tiffany membuka lebar-lebar pandangannya. Ia menyorot alun-alun pantheon yang sedang sepi. Selain di hall kampus, kubah paling besar dan indah adalah kubah pantheon. Apalagi jika melihatnya di bawah pohon ketika musim gugur.

"Ada apa dengan kubah-kubah di kampus?" tanya Daniel.

"Di Indonesia kubah identik dengan islam, sedang di sini merupakan bagian arsitektur. Di Indonesia, kubah menjadi lambang keagungan Allah, sementara di sini lambang kekuatan Raja. Simbol yang sama dengan arti yang berbeda."

"Oke, lalu kenapa kamu terus memperhatikan kubah-kubah itu? Kalau kangen masjid, biasanya juga kamu sholat di masjid agung Paris." Daniel meneruskan langkahnya menuju jalanan di depan kampus dua di mana toko es krim berada tepat di seberangnya.

Fany kembali berbalik dan mengikuti pria itu. "Kubah di masjid agung bentuknya kerucut dan berwarna hijau-biru."

Kembali jidat Daniel berkerut. "Lantas kenapa?" tanyanya bingung.

"Tak apa, hanya setiap melihat kubah-kubah itu aku jadi berpikir. Bagaimana mereka menaruhnya di sana?" tanya Tiffany dengan polosnya.

Daniel menepuk jidat. "Dua tahun lebih melakukan penelitian di kota ini, hanya itu yang kaupikirkan?"

"Lalu kamu gimana? Naik master dua saja belum." Gadis itu tak terima dengan ledekan Daniel yang seolah-olah menganggap Tiffany kurang pintar.

"Aku sibuk memikirkan bagaimana cara melupakan cinta."

Keduanya tertawa sambil saling menyikut. "Untung kita bicara pakai Bahasa Indonesia, kalau tidak mereka semua di sini akan heran kenapa kita lulus masuk S2 di sini." Tiffany menunjuk toko yang menjual pizza. Tertulis harga lima Euro di sana.

"Belikan itu saja. Pizza Sarno hari ini tutup jadi aku tak bisa makan sore," pinta Tiffany. Daniel mengangguk. Pria itu begitu penurut hingga benar-benar mengantri untuk membeli pizza.

Butuh beberapa menit setelah pizza di tangan, Daniel baru sadar sesuatu. "Aku belum mengucapkan selamat, loh!" Pria itu memberikan satu potongan segi tiga roti dengan limpahan topping dan juga saus serta keju.

"Tak perlu. Meski aku dinyatakan lulus, tetap tetap saja aku bingung," keluh Tiffany.

Selama ini ia berkonsetrasi pada masalah seni pertunjukan untuk televisi. Magang pertama ia memang bekerja di salah satu stasiun televisi. Sayangnya meski otak mengerti atas materi yang ia ambil, hati tidak mendapat panggilan.

"Profesorku selalu menanyakan hal yang sama. Ketika aku kembali ke Indonesia, apa yang akan aku lakukan. Aku pikir mencari pekerjaan di Jakarta, terutama stasiun televisi menjadi pilihan tepat. Belakangan aku memikirkan hal lain." Gadis itu memperhatikan roti pizza yang sudah ia gigit.

"Aku ingin semakin dalam mempelajari tentang roti dari Madame Berenice. Beliau juga sepertinya sangat senang memberikanku ilmunya," cerita Tiffany.

"Jadi kamu putuskan tak berkerja di bidang yang sama dengan jurusanmu?" Daniel ingin mempertegas apa yang dimaksud Fanny. Gadis itu mengangguk. "Kalau aku tetap akan sesuai jurusan."

"Makanya, cari tempat magang!" tegas Tiffany.

Daniel nyengir kuda. "Aku magang semester depan. Magang kali ini kampus memperbolehkan magang di luar negeri. Aku ikut pulang saja denganmu!"

"Padahal aku sudah bosan melihatmu ada di mana-mana!" keluh Tiffany.

Daniel tertawa puas. "Santai, aku tak akan kau lihat di hatimu."

"Kamukan butuh tempat magang. Bagaimana kalau bantu aku saja, jualan roti. Sama saja, kan? Sesuai sama jurusan kamu."

Wajah Daniel berubah kaku. "Ceu, aku ini jurusan hubungan internasional. Malah kamu suruh jadi sales roti?"

Tiffany tertawa geli. "Dalam jurusan kamu itu diajarkan cara berhubungan sama orang lain, 'kan? Siapa tahu bisa kamu praktekan ke customer."

"Apa sebegitu rendahnya kau menilai pengetahuanku? Hingga kaupikir aku hanya bisa mengurus masalah tukang jualan sama pembeli dibandingkan masalah dua negara besar di dunia?" protes Daniel.

🍁🍁🍁

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang