Tiga: Syarat

40 3 6
                                    


Hugues melewati jalan-jalan kota Birdaun di dalam kereta kudanya, menengok keluar sesekali. Sungguh perjalanan yang panjang dari Prescia hingga ke Birdaun, dan ia sudah memakan waktu hampir delapan minggu. Ia tidak pernah menginjakkan kaki di Gondvana sebelumnya. Bila bukan untuk perjanjian ini, ia pun mungkin takkan pernah datang ke sini.

Rakyat-rakyat memenuhi pinggiran-pinggiran jalan, mata-mata menatap ke arah barisan pasukan yang lewat di hadapan mereka. Dagangan dan pekerjaan mereka sejenak ditinggalkan untuk hal yang tidak biasa ini. Semua ingin tahu siapa yang dengan mencoloknya duduk di dalam kereta kuda mewah, menuju ke arah istana utama. Ia pasti adalah seorang asing, batin para rakyat.

Hugues melongok keluar lagi ketika mereka melewati gerbang istana. Perubahan pemandangan di luar perlahan-lahan membuatnya terbiasa. Kulit putih pucat Luraxia kini berganti dengan pemandangan kulit terbakar matahari orang-orang Gondvana. Hugues kembali menyeka keringat yang menetes dari dahinya. Berbeda dengan Luraxia yang dingin, panas cuaca Gondvana terasa tidak tertahankan.

Hugues mengelus janggutnya yang panjang. Kereta kuda yang ia naiki berhenti, lalu ia keluar dari dalamnya perlahan. Melewati pilar-pilar dan pahatan memukau di muka depan istana, ia mulai berjalan masuk ke dalamnya, menginjak batu dingin yang menjadi lantainya, mengikuti prajurit Gondvana. Beberapa pasukan Hugues mengikuti dari belakang.

Mata Hugues sesaat kemudian bertaut dengan milik Aldebaran. Aldebaran duduk di singgasananya, yang jauh berbeda dengan singgasana tinggi yang dimiliki Hugues di kastilnya. Raja tua itu duduk di atas bantal-bantal mewah yang ditumpuk menjadi tinggi, dengan kain-kain tipis menggantung di belakangnya membentuk kelambu besar yang indah. Di belakangnya ada jendela besar yang terbuka, membiarkan angin sepoi-sepoi dan cahaya senja untuk masuk ke dalam. Para dayang menumpuk bantal-bantal di seberang sang raja, tanpa kata-kata mempersilakan Hugues duduk. Selama itu mata Hugues dan Aldebaran tidak pernah berhenti untuk saling menatap. Tatapan yang dingin itu ditantang Hugues.

"Hingga pangeran sulung Luraxia datang kemari?" Aldebaran mengangkat alisnya yang sudah memutih. "Ini pertama kalinya bagi Gondvana. Tentunya semua intan yang dijanjikan juga dibawa serta?"

"Luraxia datang dalam damai," Hugues berkata tegas. "Semua intan sedang diperiksa oleh ajudan-ajudan Gondvana. Yang dibawa sekarang belum semua; sisanya akan menyusul secepatnya."

Aldebaran hanya terdiam, memaksa Hugues untuk melanjutkan.

"Selama bertahun-tahun ini, Gondvana telah memberikan banyak untuk kami, dan untuk itu...," Hugues menaruh jeda, "untuk tahun-tahun ke depan, biarkan Luraxia melakukan sebaliknya."

"Maaf, ini sungguh mengejutkan," Aldebaran berkata hati-hati. "Tapi untuk membuat pasukan kami tetap tinggal di sini dan tidak menyeberang ke Luraxia sana... sayangnya intan permata pun tidak cukup. Tetapi tentu saja, bila Luraxia berkeras, kami akan menerimanya. Dengan syarat."

"Dan kiranya setelah syarat itu terpenuhi, untuk tahun-tahun ke depan pasukanmu akan tetap berdiam di dalam Gondvana?"

Setelah beberapa detik berpikir, Aldebaran menjawab, "Tentu saja, bila Luraxia juga menyimpan pasukannya untuk daerahnya sendiri."

"Katakan syaratnya."

"Arleth Blancia Desmares."

Hugues berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Hugues sendiri tidak peduli akan Lethia, tapi jelas pendapat Balvier tidak sama. Seharusnya ia sudah tahu, mengingat bagaimana Gondvana berduka atas Nilam dulu. Mereka mengira yang geram dan dendam akannya hanyalah Aran saja, tapi terbukti bahwa itu tidak benar.

Mata ganti mata. Gigi ganti gigi.

Kalimat selanjutnya yang dikatakan Aldebaran, Hugues percaya ia pernah mendengarnya keluar dari mulut Gallien bertahun-tahun yang lalu, "Bukankah baik untuk memberikannya, menambah pertalian erat antar kedua kerajaan?"

Lapis Lazuli (COMPLETE STORY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang