Bagian 6

2 0 0
                                    

"Oh begitu." jawabku sekenanya dengan sesak di dada, tentunya. "Kalo kamu mau ke mana?" tanyanya. "Cuma iseng aja naik kereta. Eh ketemu kamu, jadinya jalan-jalan sampe sekarang." jawabku terlihat biasa. "Ada tempat yang mau dikunjungi? Biar Aku anter." tawarnya sambil terus menikmati kopi. "Sejauh ini gak ada sih. Malah pengen cepet-cepet pulang biar bisa nulis cerita tentang hari ini."
Senyumnya tersimpul. "Emang suka beda yaa, kalo penulis yang namanya udah ada di daftar penerbit."
"Bedanya?"
"Eh iya, kamu belum punya novel tapi namamu udah ada di daftar penerbit, gimana ceritanya?" Dia malah balik bertanya.
"Tulisanku dimuat di beberapa majalah. Kadang di koran. Suka-suka penerbit aja, eh tahu-tahu honornya cair." jelasku. "Kamu penulis juga kan?" tanyaku meyakinkan.
"Iya, lebih tepatnya a blogger."

Sadar ada di posisi yang salah, malam tetap saja indah. Dia tengah asyik dengan smartphone-nya dan Aku masih menatap gelas kosongku. Ah mungkin dia sedang berkabar dengan seorang pacar; diselingi tawa yang buatku makin terluka.

"Aku boleh cerita gak?" matanya membulat.
"Tentu aja."
"Dia itu film maker dan Aku blogger. Nah rencananya kami mau liburan sekalian bikin film pendek. Menurutmu gimana?"
"Wah bagus dong. Bakal rame juga kayaknya." kataku.
"Gak cuma itu, Aku juga mau dia....."
Entah mengapa ceritanya malah membuat telingaku mendenging; pikirku kabur; dadaku sesak; jantungku meronta. Mungkin ini terdengar berlebihan tapi itulah kenyataan.

Aku mencoba terlihat biasa saja: terus memperhatikan dan sesekali menanggapi. Barang tentu dia tidak tahu, di balik rencananya yang diumbar lewat cerita ada Aku yang sangat terluka; di balik bahagianya ada Aku yang merana; di balik ia yang merindu, ada Aku yang bersendu. Ah lagipula, siapakah Aku selain teman seperjalanan?
***
"Pulang yuk! Udah malem banget." ajaknya selepas bercerita. Aku bersiap pertanda setuju. Kami bangkit dari kursi yang berhadapan lalu berjalan sedikit berjauhan menuju pinggiran jalan.
"Makasih buat hari ini. Aku happy banget." katanya tepat di atas trotoar.
"Iya makasih juga udah ngejajanin."
"Ih dasar." Dia tertawa dan Aku masih terluka.
"Besok pagi Aku tunggu di Alun-Alun. Aku mau nunjukin tempat yang bagus lagi di sini. Biar cerita kamu makin keren." katanya lagi.
"Tahu dari mana ceritaku bakal keren?" tanyaku.
"Ngeramal kayak Dilan."
"Kamu kan cewek." protesku.
"Harusnya jadi Milea gitu?"
"Mungkin." jawabku.
"Sedih atuh."
"Eh kenapa?"
"Kan Dilannya ada di Tasik, harus terpisah sama jarak deh." katanya menjelaskan.
Deg. Aku hanya diam.

"Mau pisah di sini aja?" tanyanya lagi.
"Iya di sini aja."
"Abis dari sini kamu mau kemana?" tanyanya lagi.
"Ke suatu tempat yang gak akan kamu tahu." jawabku membenarkan.
"Dih rahasia-rahasiaan."
"Suka-suka dong." kataku mencoba bercanda dengan hati terluka.
"Iya iyaa, pokoknya besok pagi Aku tunggu di Alun-Alun."
Aku hanya mengacungkan jempol. "Yaudah Aku dululuan yaa." katanya saat sebuah mobil menepi di hadapan kami. Mungkin taksi online atau kerabat terdekat. Entahlah.
Mobil melaju di jalanan Bandung yang melenggang, meninggalkanku seorang diri yang tengah meratapi. (Bersambung)

Namanya Alyssa BillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang