Bagian 7

3 0 0
                                    

"Beda yaa kalo main sama anak arkeologi, ke situs sejarah mulu." protesnya. "Harusnya bersyukur." belaku. "Kenapa?" tanyanya. "Indonesia punya banyak situs sejarah dan kalo dipelajari kita bisa ambil hikmahnya." jawabku.
"Eh iya, sesuai rencana bulan depan Aku bakal ekskavasi ke Gunung Sadahurip." kataku lagi. "Gunung Sadahurip yang di Garut bukan sih?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk mengiyakan. "Bukannya situs itu udah clear ya?" tanyanya lagi.
"Sebelumnya emang udah dianggap clear, cuma beberapa bulan kemarin ada temuan artefak di galian kebun warga." jelasku. "Untungnya udah ada perusahaan swasta yang siap ngasih sponsor." tambahku.
"Kenapa gak pake biaya negara?"
"Kesimpulan peneliti sebelumnya bikin negara gak mau ngasih biaya buat riset tambahan. Selain udah dianggap clear, penelitinya kayak Aku, baru jadi arkeolog amatiran."
"Yaah ditinggal lagi dong? Baru juga balik dari Merapi." keluhnya
"Diusahain tiap hari Aku kabarin kamu."
"Iya makanya dari sekarang jaga kesehatan. Jangan gadang buat nulis draft novel, kurangin ngopi, makan sehat yang teratur, olahraga kalo perlu." pintanya.
"Gini nih enaknya punya pacar anak kedokteran, diperhatikannya lebih." kataku lalu tertawa.
"Ih apaan sih?" mukanya memerah.
"Nanyanya jangan sambil ngapung gitu atuh," kataku sambil menahan tawa. "eh kamu kan calon dokter anak. Masa ngasih sarannya ke mahasiswa tingkat akhir?" sambungku.
"Justru itu, buat Aku, kamu itu kayak anak kecil."
"Alasannya?"
"Nyebelin tapi ngangenin."
Kami tertawa.

Penjelajahan waktu dimulai kala dirinya bertanya, "Ceritain tentang Candi Prambanan dong."
"Buat?" Aku malah bertanya. "Buat agul ke temen punya pacar anak arkeologi." jawabnya.
"Jadi Candi hindu terluas di Indonesia ini dinobatkan sebagai salah satu candi terindah se-Asean dan masuk situs warisan dunia versi UNESCO sejak tahun 1991."
"Keren. Kalo sejarahnya?" tanyanya lagi antusias. "Diceritakan sama Prasasti Siwargha, nama asli Candi Prambanan adalah Siwargha yang artinya rumah siwa. Makanya, meskipun dibikin buat trimurti,"
"Ih trimurti apaan?" potongnya.
"Trimurti itu 3 dewa hindu, Brahma, Wishnu sama Siwa." jelasku. "Lanjutin lagi ceritanya." pintanya.
"Iya meskipun buat trimurti, sosok Dewa Siwa lebih diutamakan. Terus menurut perkembangan Arkeologi Indonesia, candi ini dibangun sekitar abad ke-9, lebih tepatnya tahun 850 masehi sama Rakai Pikatan, salah satu Raja di Kerajaan Medang dari dinasti Wangsa Sanjaya."
"Cerita Roro Jonggrang sama Bandung Bondowosonya di sebelah mana?" tanyanya heran. "Sebenernya itu cuma mitos yang diyakini sama masyarakat sekitar dan jadi bumbu mistik khas Indonesia."
"Bukannya ada arcanya yaa?" tanyanya memastikan.
"Iya, arcanya ada di garbagriha Candi Siwa. Tapi ada juga yang meyakini kalo arca Roro Jonggrang itu sebenernya arca istri Dewa Siwa yang namanya Durga."
"Banyak referensinya. Gak kebayang kalo kamu tiba-tiba kena alzheimer." opininya.
"Alzheimer itu apa?" tanyaku penasaran. "Penyakit yang bisa menghapus memori seseorang." jawabnya singkat.
"Oh, gak akan ngaruh."
"Hah? Maksudnya?"
"Memori kamu, semua tentang kita, gak akan pernah hilang."
"Ih kamu mah."
***
Selepas mengitari kawasan candi, tangan bergenggaman kami berjalan menuju taman. Sekarang kami duduk di bangku memanjang dan hanya cukup untuk berdua. Rambutnya disibak melewat muka yang berminyak, dan dia tetap cantik. Sungguh mahakarya Tuhan penuh estetika yang buatku makin mencinta.
Tak datang senja, sore tetap tiba; begitupun kami berdua yang masih berbahagia. Wajah lelah tertutupi senyum sumringah. Mungkin gegara kami jarang bersama, walau kuliah di kampus yang sama. Kesibukan mahasiswa jadi alasannya: dia yang tengah menyusun skripsi, Aku yang sibuk ekskavasi.  Terlebih hobiku mendaki dan dia setia menanti.
"Mau minum apa?" tanyaku. "Kayaknya soft drink dingin aja deh."
"Tunggu di sini yaa."
Baru berjalan beberapa langkah, dia terperangah. "Gak mau softdrink, takut gendutan." katanya cemberut. "Terus kenapa?" tanyaku datar. "Nggak sih." senyum melengkung di akhir katanya. "Jangan sering senyum." protesku. "Emang kenapa? Takut diabetes gara-gara senyumku manis? Gombalnya udah basi, Pak." selorohnya.
"Iya bu dokter, iya bapak arkeolog yang salah."
***
Kawasan candi yang tak berpedagang buatku berjalan melenggang, melewati jalan memanjang. Di kanan, candi bersebaran; di kiri, besi membatasi. Baru selangkah keluar dari kawasan, grup pengamen sudah menyambutku dengan musik keroncongnya. Begitupun dengan ibu-ibu penjaga toko suvenir yang menjajakan jualannya setengah berteriak. Sedang warung makanan ada di ujung, dekat gerbang keluar. Di balik tumpah-ruahnya manusia, Aku tetap berjalan sampai, "Bagja!" panggil seorang yang tak asing suaranya buatku berhenti lamat menoleh ke arah kiri.
"Alyssa?!" Aku termangu, sontak mata terbelalak. Sesosok perempuan ada di hadapan, selepas tak dipertemukan dalam berbulan-bulan. (Bersambung)

Namanya Alyssa BillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang