need a break

210 38 0
                                    

019 — need a break — semua manusia ada masalahnya, jangan coba bandingin sama diri kamu sendiri.


Meski butuh waktu untuk penyembuhan. Luka dalam butuh bertahun-tahun akan dihilangkan.

Langit belum tahu penyebab Darin terdengar sangat membenci ayahnya, pastinya bila Langit dapat menduga-duga batin Darin amat tergores.

Melesatkan laju mobil mengarah ke salah satu rumah di Tanggerang, ia sudah menelpon pemilik rumah untuk mengirimkan lokasi area tinggal pasangan tersebut. Langit tak dapat memberitahukan hanya lewat ponsel genggam karena ia juga butuh penjelasan atas sikap Darin, siapa tahu orang yang Langit temui mengetahui.

Tanpa susah payah harus mengklakson sebab tak ada pagar, ia memutar setir memasuki bangunan yang begitu luas. Sudah ada wanita di teras sedang menggedong bayi bangun dari duduknya. Pasti si pemilik rumah sudah tidak sabar menunggu kedatangannya yang mendadak.

"Urgent banget sampai harus ke rumah?"

Sebuah kalimat sapaan yang Langit terima dari Davina, ketika dirinya baru turun.

"Gua ngga bisa kalau kasih tau cuman lewat telpon."

Dibawa masuk ke hunian Davina, Langit menemukan Alwan masih bersetelan kemeja lengan pendek membawa minuman botol kemasan meletakan berdekatan beberapa toples di atas meja. Baru datang Langit sudah disuguhkan saja.

"Silahkan di minum."

"Thanks."

Melihat Davina memberikan anaknya kepada Awan, ia menelan ludah sebelum memulai. "Maaf, Vin. Kedatangan gua mendadak." Langit mengehembuskan napas lalu membuangnya bersama rasa gelisah. "Jadi, empat bulan lalu gua ke Semarang. Di sana gua ketemu sama adek lo, Darin." Tanpa intro apa-apa langsung cerita, tangan Langit terangkat memberi tanda ingin melanjutkan dahulu saat Davina terlihat mau menyela.

"Gua lanjutin dulu, gua awalnya masih ragu itu dia, karena yang kita tahu mereka di Jerman. Gua juga hanya tau mukanya sebatas dari foto di HP sama akun facebook punya lo. Tapi setelah gua coba tukeran nomor telfon dan ajak untuk ketemu lagi, dia memang Darin. Gua kaget ternyata keluarga lo pindah ke Semarang dua tahun lalu, yang gua tebak pas mereka mutusin lost kontak sama lo mereka juga pindah ke Indonesia."

"Terus kamu masih kontak-kontakan sama Darin?" Itu suara dari Awan yang mengantikan Davina masih dalam keadaan tercengung.

"Masih, sebulan yang lalu gua juga ajak dia ke Jakarta. Waktu kita ketemu di tempat makan itu, Darin lagi di sini."

Mata Davina spontan melebar. "Kenapa lo ngga kasih tau gue? Lo sempat samper gue lagi kenapa waktu itu cuman diem doang?"

"Waktu itu gua masih ragu buat bilang semuanya."

"Kenapa ragu? Tinggal bilang apa susahnya!"

Davina sedikit membentak, sehingga Awan menghalau tangan kecil putrinya yang mau meraih mamanya. Untung Sierra anteng dalam gendongan jadi Awan buru-buru beranjak agar putri kecil ini tidak melihat sang ibu emosinya meluap.

"Aku ke kamar mau bawa Sierra. Kamu jangan terlalu emosi, ngomong baik-baik dengan kepala dingin." Awan kemudian menatap kepada tamunya. "Saya tinggal dulu."

Langit mengerti dan menunggu Awan menghilang dari padangannya baru melanjutkan. "Vin, gua minta maaf. Gua benar-benar masih cari momen yang pas."

"Langit, tapi adek gue di depan mata lo! Lo nunggu apa sampai ngga langsung ngomong ke gue waktu itu."

Cerita Satu Minggu JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang