Aku dan hidupku

5 1 0
                                    

Demi Tuhan yang berfirman dalam Al qur’an, teruntuk siang yang tak pernah absen. Aku berdiri menyaksikan disekelilingku. Menembus keramaian dengan penglihatan seadanya, mereka begitu hidup dalam kenyamanan meski dihantui dengan kesibukan. Tak pantas bagiku untuk kufur atas nikmat tuhan selagi nafasku masih takku bayar. Andai saja dahulu Ayahku tak pernah mengajariku lantas aku akan berteriak kencang menyerukan ketidak adilan tuhan atas diriku. Atas kisah yang takku peroleh barangkali aku akan menjadi manusia yang paling memberontak mengapa sedemikian rupa dunia menolakku untuk bahagia. Ternyata tuhan memberikanku jawaban  melalui perantara hamabanya, menyampaikan bahwa Tuhan tidak akan memberikan ujian diatas kemampuanku. Tuhan menganggapku makhluk yang kuat, berani, bahkan tuhan ingin melihatku berjuang dengan kehebatan yang diberikannya padaku. Anggap saja ini cara menghibur diri yang paling sederhana, tak perlu beradu dengan pemikiran yg tentu tak sempurna.
Aku terlahir sebagai piyatu diumurku yang terbilang pagi untuk ditinggal pergi, ayahku juga tertelan kabar yang tak pasti kutemukan, tak ada tanda tanda bahwa ayahku masih hidup, ayahku pergi meninggalkanku diumur ke 7 dari masa kanak kanakku. Semua kejadian itu memaksaku untuk berfikir dewasa, menghantam fisikku yang masih terbilang mungil untuk terus mencerna hal yang belum bisa kutelan dengan baik. Tak ada nasib yang diceritakan sesedih penderitaanku, miris.
Bertahun tahun aku luntang lanting berjalan menyusuri setiap gang perkotaan yang tak ramah dengan anak seusiaku, kutegarkan jiwaku yang kesedihannya tak mampu untuk tertuang karena semua tak akan mampu menukar takdir. Aku bertahan hidup dengan kebaikan orang –orang yang tuhan kirimkan, juga menawarkan diri untuk menjadi pencuci piring para pedagang keliling. Tak sedikit orang menanyakan “orang tuamu mana nak, kok kamu sendiri?”. Tak sanggup aku menjawab dengan kejujuran yang semua anak kecil miliki, kuselipkan senyum sambil menyebut “mereka juga lagi kerja pak/bu, aku Cuma pengen bantu aja”. Meski pantang untuk berbohong aku bahagia dengan setiap kata kata itu. Kata pengharapan jika andai saja mereka masih ada.
Ya begitulah, meski aku hidup sendiri dalam perantauan yang tiada batas tak seorangpun yang ingin menjadikan aku anak asuhnya. Barangkali semua orang tengah sibuk, sibuk dengan kebahagiaan mereka masing-masing tanpa peduli yang lain, prasangka buruk memang slalu begitu, tapi aku sadar banyak juga orang baik tanpa kuperintah. Jika tiba saatnya nanti aku ingin berterimakasih kepada semua orang yang telah mempekerjakanku sewaktu kecil, memeberikan sedikit rupiah dan sebungkus nasi untuk bertahan hidup. Jika takdir berkata aku adalah orang yang beruntung disuatu saat, maka mereka telah berhasil bersedekah padaku dengan itu setiap kesuksesanku akan menjadi investasi pahala yang terus mengalir ntuknya.

Aku percaya dengan tuhan yang menghidupiku, kurang beriman apa kita sehingga kita tidak percaya akan rezeki yang telah tuhan titipkan. 10 tahun setelah aku hidup sendiri, setidaknya dengan bekerja serabutan 14 jam sehari aku bisa menyewa salah satu rumah kos kecil di daerah jakarta, dengan tabungan dan tagihan sewa sekurang kurangnya aku tak pernah menjadi pengamen, peminta-minta yang menjadi miliarder sungguh munafik rasanya. Jika saja bukan perbuatan haram dan memalukan barangkali meminta adalah kemampuan yang paling manusia bisa, tapi untunglah manusia diberikan otak untuk mencerna mana yang baik dan mana yang buruk.
Masa remaja dikota metropolitan begitu samar samar untuk dikatakan baik, tak sedikit yang berjiwa keras, seimbang dengan kehidupan kota yang begitu ganas. “ini jakarta bro, semua butuh uang!”. Selogan itu sudah tak asing  ditelinga. Dengan amat jeli aku hidup dengan mengatur keuangan yang sebenarnya tak ada yang perlu untuk diperhitungkan karena uangku hanya sebatas penghidupan dan tabungan yang masih bisa dihitung dengan jari.
Disaat orang orang hidup dengan dininkmati bahkan aku berperang dengan hidup sendiri. Sekarang pagi terus berganti menyusun waktu dengan usia yang terus merambah, aku banyak belajar. Hidup tidak dilakukan dengan keinginan kita atau sekedar harapan, bermimpi saja butuh sebuah usaha ya dan aku percaya itu. Tak kan ada kebahagiaan yang abadi juga  kesengsaraan yang abadi aku berpegang pada kata-kata ini karena semua yang tuhan ciptakan tak ada yang abadi. Anggap saja begitu tausah membandingkan hidup dengan teori, barangkali ada orang yang lebih sengsara dari kehidupanmu saat ini.
Bersyukur tuhan ciptakan titik dimana aku terus berusa, menutup telinga dari siapa saja yang membenciku. Sungguh aku menghargai setiap kecamaan dan olokan mereka, karena semua itu membuatku merasa harus membalas dendam dengan kehidupan yang lebih baik. Tanpa olokan tak akan ada semangat yang berapi, tanpa cacian tak akan ada langkah yang terhenti. Terimakasih atas bantuan yang membuatku tetap tegar.
Sekarang aku ingin menunjukkan. ini aku, aku yang sudah tak hidup dalam kontrakan kecil dipojokan kota. Ini hasil cacian mereka yang kujadikan mesin pencetak uang. Dikenal sebagai bos pemilik restoran restoran ternama di jakarta, menyuguhkan tema instagramable yang sekarang semua orang bahkan tergila gila akan itu. Tak ada yang salah dengan hasil, tak ada penghitungan yang curang tentang proses. Semua sudah tuhan ciptakan dengan keadilan yang slalu manusia tuntut.
Di pagi bulan januari aku sengaja meluangkan waktu yang teramat sibuk untuk melihat dunia yang telah akrab membersamaiku selama 25 tahun. Tak secelahpun nikmat tuhan mampu untuk diingkari. Dunia ini diciptakan sudah dengan porsinya dengan orang orang yang ada didalamnya. Kita belajar banyak dari kehidupan tanpa teori mungkin memberi lebih sulit dari hanya sekedar menerima.
Aku membeli beberapa parcel sembako yang akan aku bagikan dikawasan para pedagang yang dulu aku pernah bekerja di tempatnya. Aku masih ingat dengan bapak tukang bakso keliling yang dulu sering sekali menyundul kepalaku kasar, menyuruhku untuk membersihkan tumpukan mangkok dengan upah yang tak adil. Ternyata rezekinya masih ditakdirkan sebagai pedagang bakso dengan waktu yang sama ketika nasibku sudah jauh berubah. Barangkali ia sendiri tak mau merubah nasibnya, tak berani melakukan hal baru demi perubahan yang besar karena takut  akan kecewa. Dengan ramah dan senyum secukupnya aku menyodorkan parcel yang telah aku siapkan “permisi pak, ini lagi bagi-bagi sembako, mohon diterima ya pak!” dengan cekatan beliau menjawab “owh bagi bagi sembako, makasih mas. Mau nyicip bakso dulu nggak?” spontan kujawab “gausah repot repot pak, saya pamit pergi dulu. Assalamualaikum”. Setelah bapak itu menjawab salam, aku berpindah dari pedagang satu ke yang lainnya. Tak ada yang mengenaliku, tampang yang dulu sering muncul dihadapan mereka. Dulu wajahku penuh debu, untuk mandi saja tak ada waktu karena terus bekerja. Setelah sekarang sukses masih dengan tampang sederhana ditambah wajah yang terlihat bersih bahkan tak ada yang mengenaliku, kuingat ingat diriku yang dulu terlihat seperti seperti kerbau yang yang berkubang. Pantas saja mereka tak mengenaliku, bahkan aku saja ragu terhadap diri sendiri mungkin tak kenal.
Ketika sembako telah terbagi rata, kudapati seorang gadis berkerudung hitam tengah tersenyum sumringah menatap anak kecil yang terlihat kumuh di seberang jalan. Ia membawa sebungkus nasi yang rupanya ia peruntukkan untuk dirinya sebab ia terlihat begitu pucat lebih persis dengan gadis yang kelaparan. Aku sedikit terkejut dengan perlakuannya, ia bahkan menghampiri anak kecil yang ia lemparkan senyum tadi dan memberikan bungkusan nasi yang rupanya baru ia beli. Ia mengusap ujung kepala anak itu lalu terlihat bibirnya bergerah mengisyaratkan beberapa kata lalu pergi dengan melambaikan tangan. Rupanya anak itu bukan adiknya, bukan juga keluarganya. Dengan gegas aku berlari menghampiri anak itu dan bertanya penasaran
“ maaf dek, wanita tadi siapa kamu?”
“ gak tau mas, tadi aku juga kaget tiba tiba dikasi ini, kebetulan juga lagi laper.” ucapnya sambil menunjukan sebungkus nasi.
“ kamu sendiri?”
“iya, lagi kerja bantu orang tua”
Mendengar jawabannya aku terngiang masa kecilku yang ketika ditanya seperti itu aku selalu menjawab sama persis seperti anak yang kukenal dengan nama Darto itu.
“dek kamu tunggu di sini ya!”
Aku berlari mencari arah gadis itu pergi, sepertinya belum jauh ia berjalan. Lagi lagi aku terkejut dengan sikapnya yang begitu rakus akan memberi. Kulihat dirinya tengah memberikan sebungkus nasi kepada ibu-ibu renta yang sepertinya juga tak ia kenal, entah dari mana datangnya sebungkus nasi itu lagi. Persepsiku muncul “barangkali mobil hitam dipinggir jalan itu miliknya, mungkin dia juga sedang bagi bagi sembako sama sepertiku”. Terus saja kuikuti langkah langkahnya, tak ku lihat mengambil nasi atau barang yang lainnya dari mobil sedan hitam itu. Ternyata mobil itu bukan miliknya, hingga langkahnya terhenti di sebuh desa dalam kota yang ternyata salah satu rumah adalah miliknya. Tak nampak layak untuk dikatakan berada, bahkan jauh dari kesan hidup yang serba ada

~Next.nya aku bakal public belakakangan👍semoga kalian suka~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sederhana sajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang