D U A

14.1K 896 68
                                    

Kring.. Kring..

Bel tanda istirahat telah selesai menggema di seluruh sudut SMA LAB.

Sial! Aora belum istirahat sama sekali. Daritadi otaknya terus bekerja keras untuk menjawab soal Matematika yang sangat meresahkan itu.

Kini cacing yang ada di perut Aora menari-nari kelaparan, perutnya sangat sakit.

"Apa maag Aora kambuh?" batin Aora sambil memegangi perutnya.

Aora lemas karena tadi pagi ia tidak sempat untuk sarapan. Dan kini jam istirahat yang akan ia gunakan untuk mengisi perutnya musnah begitu saja hanya karena soal Matematika sialan itu.

Perlahan Aora meletakkan kepalanya di atas meja. Matanya ia pejamkan pelan-pelan, baru satu detik terlelap, tiba-tiba...

"SELAMAT SIANG!" suara pak Hasyim yang membahana membuat Aora terbangun.

"APAANSIH! AORA MAU TIDUR!!!" teriak Aora sangat kesal. Sungguh, Aora merasa tidak direstui untuk istirahat sejenak.

Ups. Mampus!

Tadi Aora spontan teriak. Alhasil satu kelas menatap dirinya, termasuk Pak Hasyim.

"Aora! Apa-apaan kamu?!" tanya Pak Hasyim dengan nada tinggi.

"Ma-maaf pak. Maag Aora ka-kayaknya kambuh," saking takutnya, bulu kuduk Aora sampai berdiri tegak.

"Alesan! Keluar! Hormat ke bendera sampai pelajaran bapak selesai!"

Sial. Sekarang sudah siang. Panas matahari akan menusuk pori-pori kulit Aora dengan tajam.

"Pak, be-beneran saya di hukum?" tanya Aora dengan gugup. Sesekali ia menoleh ke arah Revan, dengan harapan Revan akan membantu dirinya lolos dari hukuman.

Satu detik, dua detik. Revan terlihat sama sekali tidak mempedulikan Aora.

"Teman macam apa itu," batin Aora kesal.

"Cepet keluar Aora!" Pak Hasyim kembali memerintah Aora.

"I-iya pak saya keluar."

"Ra, semangat," ucap Vania sambil memamerkan jarinya berbentuk love.

"Loh loh Vania! Mau bapak hukum juga kamu?" semprot Pak Hasyim saat memergoki Vania sedang bergaya.

"Eh eh ampun, nggak pak."

---

Sudah hampir 45 menit Aora menghormati tiang bendera yang ada di hadapannya itu.

Keringat dari dahi Aora menetes dengan deras. Wajahnya berubah menjadi pucat, serta kakinya menjadi sangat lemas.

Perasaan Aora mulai tidak enak.

Brak...

Benar saja. Aora jatuh pingsan.

---

Revan berjalan menuju kamar mandi. Saat pelajaran tadi Revan terus menahan pipisnya, ia tidak mau ketinggalan materi yang diberikan bapak maupun ibu guru di kelas.

Disaat tengah asik memandang seluruh sudut sekolah, tiba-tiba Revan disuguhi pemandangan yang menurutnya tidak mungkin terjadi.

"Hah serius tuh anak pingsan?"

Ya. Revan tengah melihat Aora yang tergeletak lemas di tengah lapangan.

Sayangnya sedari tadi tidak ada yang membopong Aora ke UKS. Mungkin karena jam pembelajaran masih berlangsung, dan semua kelas punya batasan sendiri murid yang diijinkan pergi ke kamar mandi.

Kini Revan dalam keadaan bimbang. Revan sebenarnya benci mempunyai rasa bimbang, karena setiap dia mengalami rasa itu, ia selalu mengingat dulu saat papanya bertanya 'memilih ikut papa atau mama'.

"Nolongin, enggak, nolongin, enggak, nolongin," Revan mencap-cip-cup jarinya.

"Lah serius ini gue tolongin?" ucap Revan kepada dirinya sendiri.

Perlahan ia melangkah menuju Aora, tapi sayangnya semua terlambat.

"Eh eh ini Aora anak kelas XI IPA kan? Dia kenapa?!" gerombolan laki-laki, yang bisa di bilang para cogan mengerumuni Aora.

Dengan sigap ketua Osis tampan yang bernama Vraska itu menggendong Aora untuk dibawa ke UKS.

"Nah bagus udah ada yang nolong," ucap Revan, lalu segera melangkah pergi ke kamar mandi.

---

"Ra, bangun," ucap Vraska sambil menciumkan minyak kayu putih di hidung Aora.

Perlahan Aora membuka matanya. Matanya masih sayup-sayup. Saat pandangannya sudah sangat jelas, Aora sangat terkejut. Bagaimana bisa seorang ketua osis yang diidolakan banyak perempuan ada di hadapanannya?
Dan kini hanya ada mereka berdua yang ada di UKS?

"OMG," batin Aora meronta-ronta.

"Lo gak apa-apa Ra?" tanya Vraska.

"Gak apa-apa kok."

"Lo kenapa tadi? Kok bisa pingsan?"

"Kayaknya maag kambuh, terus sempet-sempetnya Aora di hukum sama Pak Hasyim."

"Jangan telat makan Ra," ucap Vraska penuh perhatian.

"PLEASE STOP! AORA GAK BOLEH BAPER IH!" Aora salah tingkah.

"Loh? Pipi lo merah Ra? Lo demam Ra?" Vraska menyentuh pipi Aora.

Brak...

Vania membuka pintu UKS dengan keras, wajahnya panik bukan main.

"Ups! Maaf gue ganggu ya," Vania terpaku. Vania sangat kaget saat melihat seorang ketos memegangi pipi sahabatnya.

"Hm, gue cabut dulu ya Ra. Lo cepet sembuh. Inget jangan telat makan lagi," ucap Vraska untuk terakhir kalinya. Lalu melesat pergi.

"OH MY GOD! SUMPAH DEMI APA?! LO PACARAN YA SAMA SI KETOS TAMPAN ITU?!" Vania sangat heboh. Bahkan suaranya bisa terdengar sampai luar UKS.

"Ih sssttt Vaniaa, jangan teriak-teriak," bisik pelan Aora.

"Abisnya gue kaget banget anjir. Kok bisa sih woi? Bagi resep napa?"

"Aora mah tadi pingsan. Vania gak bantu malah teriak-teriak. Dasar," omel Aora terhadap sahabatnya yang absurd itu.

"Mon maap banget Raa."

"Ih. Yaudin, Aora maapin."

Baby Girl (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang