-satu.

64 7 0
                                    

"Nara."

"Gue lagi banyak urusan."

"Sebentar lagi udah mau pergi."

"Bukannya semalem bilangnya udah pergi ya?apa mau nyuruh gue ikut juga?"

"Cuma sebentar Nara, terakhir."

"Iya makanya gue gakmau, sebentar itu gak akan bertahan lama gak bisa jamin apa-apa."

"Nara..."

"Gue banyak kerjaan, katanya mau bikin acara buat kepengurusan tahun ini? kalau rencananya A ya A dong, yang konsisten. Dulu yang suka marahin anak-anak emangnya siapa? Kerjaan belum kelar udah main pergi aja."

"Nara gue takut, lo ngomong apa sih?"

" Anter Dirga baik-baik, Gue tau dia gak suka bercanda."

tuttt.

Nara—yang punya nama, tidak bergeming dari tempatnya, ia hanya bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

Dalam sekejap, Nara merebahkan dirinya ke atas ranjang, membanting benda persegi panjang yang sedari tadi di genggamnya hingga berhamburan kemana-mana.

Nafasnyapun di tarik ulur, kadang memburu dan kadang terasa sesak.

Jangan nyiksa gue pake cara ini ga, jangan.

Nara menyeka air matanya yang perlahan lahan jatuh, pertahanannya tidak boleh secupu ini kan? meski rasanya Nara seperti di bakar bayang bayang Dirga, toh Dirga juga gak menepati janjinya.

Malah Nara di tinggal jauh ke atas sana, gak tau kemana yang jelas Nara benci Dirga.

"Berengsek lo Dirga."

Nara mengerang frustasi, kali ini benda pipih yang menjadi alat pengisi daya di sampingnya yang menjadi sasaran.

Nara menggenggam benda itu kuat-kuat sebelum akhirnya di lempar juga ke arah kaca.

Sebisa mungkin Nara menahan konflik batin di dalam dirinya, jauh di dalam sana, entah pada bagian yang mana terasa betul ada yang hancur, sehingga lagi-lagi Nara menepuk nepuk dadanya berharap sakit yang sedari malam memasung jiwanya akan segera lenyap.

Nara ingin teriak menyuarakan isi hatinya sehingga dengan buru-buru Nara terlebih dulu menggigiti bibir bawahnya.

Badannya bergetar hebat, tetapi lagi lagi Naya cuma bersikap acuh tak acuh.

Dia gak suka jadi lemah dan dia gak mau apa yang udah selama ini di tangkap kepala sama matanya jadi sia-sia.

"Jangan bengong lah, walau cuma jadi anggota ya seenggaknya berguna."

Laki-laki itu, Nara gak pernah perduli mau serupawan apapun tampangnya, ya intinya Nara jangan di usik aja, apalagi di berikan tatapan yang kalau kata orang-orang 'mengimintidasi' sok berkuasa.

Nara emang selemah itu sampai ternyata ratusan malam udah dia habiskan untuk menata diri, tanpa sadar dia di perintah orang lain juga.

"Jam dua malem ini gue tunggu proposalnya, gue juga biasanya gak tidur ngerjain beginian, bisa kan?"

Nara menampar keduabelah pipinya, kiri dan kanan, memaksa kakinya untuk berdiri, bergerak sesuai rencananya hari ini.

Ralat, rencana mereka.

Line

Nara
ke aula fib,
sekarang.

dendika
Nara?

Audri
kak?

Nara
kalau aja gue nyampe duluan,
tolong siapin surat pengunduran diri.

Jean
please jangan kaya gini ra

Andra
Nara apa apaan sih lo

Sera
Nara? semua orang nungguin lo...

"Cih."

Dengan sekali hentakan, Nara menutup laptop milik Dir-

sial.

Nara memegangi kepalanya yang mulai berat kemudian menjambaki rambut di sekitaran ubun-ubunnya.

Nara bahkan gak ingat seberapa banyak barang yang bukan miliknya, bertengger di kamar berukuran kecil ini, dia mulai bingung, gak tau harus gimana.

"Kalau gue titipin ke lo ya berarti lo udah terpercaya. Gitu aja sih intinya. Lagian juga biar ga sepi sepi amatlah, ada yang nemenin."

Nara harus menggerakkan kakinya, melangkah dan meninggalkan sekelabut memori di dalam otaknya yang selalu tentang 'dia' orang yang udah nggak ada.


24 Desember 2019.

AUDIRGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang