Aku berjalan di koridor rumah sakit seorang diri. Sembari menyapa perawat yang bertugas, aku membagikan buah-buahan yang aku dapatkan. Sedikit demi sedikit trauma Seungkwan mulai membaik. Aku tahu tidak mudah bagi seorang anak kecil melihat kejadian tragis seperti Seungkwan. Apalagi dia adalah salah satu korban dan satu-satunya saksi mata yang masih hidup.
Aku berpapasan dengan Seungkwan di koridor. Kenapa dia ada di sini? Harusnya Seungkwan masih beristirahat di ruangannya. Selain itu, kemungkinan besar keselamatannya akan terancam jika dia berkeliaran seorang diri.
"Seungkwan-ie, kenapa kau di sini? Di mana polisi yang seharusnya menjagamu?" Tanyaku dengan cemas sembari memegangi pundak Seungkwan. Aku menunjukkan ekspresi ketakutan, takut jika Seungkwan akan di culik atau bahkan hal yang lebih buruk. Dia saksi yang paling penting, kasus yang melibatkannya juga tidak main-main. Perdagangan manusia.
"Ahjussi sedang ke toilet sebentar." Jawab Seungkwan. Aku menghela nafas panjang. Polisi itu lalai. Tidak seharusnya dia meninggalkan seorang anak kecil sendirian. Jika terjadi sesuatu pada Seungkwan, bisa kupastikan mereka akan kena sangsi dari komandannya.
Aku menghela nafas panjang. "Sekarang kau mau ke mana?"
"Aku akan menemui Ahjussi polisi yang satunya lagi." Aku mengernyitkan dahiku. Bukannya, mereka yang seharusnya pergi ke kamar Seungkwan? Aku merasa aneh. Namun, pikiran negatifku langsung enyah ketika polisi yang seharusnya menjaga Seungkwan muncul.
Kami di bawa ke salah satu kantin rumah sakit, beruntungnya adalah kantin ini sedang sepi. Sebelum Seungkwan memberikan kesaksiannya, aku harus memastikan keadaannya dulu.
" Kau yakin bisa?" Seungkwan mengangguk sebagai jawaban. Aku tidak ingin dia memaksakan dirinya.
" Oke. Jangan terlalu memaksakan dirimu. Eonni akan menemanimu." Seungkwan duduk di depan salah satu detektif yang sepertinya di utus oleh kepolisian. Aku mendampingi Seungkwan. Anak di bawah umur memiliki hak untuk didampingi oleh walinya.
"kau boleh bercerita."
*****
Aku meregangkan badanku, adegan tadi adalah adegan terakhirku. tapi, bukan yang paling akhir sih. Adegan terakhirnya adalah saat persidangan dan itu ending dari film kami. Aku memberikan kalian spoiler, berterima kasihlah.
Aku pulang setelah membereskan barang-barangku dan berpamitan dengan staff juga sutradara. Seperti biasanya aku pulang dengan bus. Masih ada 17 menit lagi sampai bus ke arah rumahku datang. Aku masih bisa menunggu sambil duduk. Aku mencari-cari handphone di dalam tasku dan menemukan amplop yang diberikan halmeoni waktu itu.
Kalau di pikir-pikir sudah 9 hari semenjak kejadian waktu itu dan aku sama sekali tidak bertemu halmeoni itu. Apalagi menahan godaan untuk tidak menggunakan uangnya sangat besar. Beruntungnya untuk beberapa saat, aku selalu lupa dengan keadaan amplop berisi uang. Tapi, kadang-kadang amplop itu membuatku was-was. Apalagi tujuanku adalah mengembalikan uangnya. Kalau hilang, bagaimana aku mengembalikannya?
Aku memasukkan kembali amplop itu ke dalam tas. Memainkan handphoneku sembari menunggu bus. Aku melirik sebentar saat ada sebuah mobil yang berhenti di depan halte ini. Ya kuabaikan, mungkin saja dia akan menjemput seseorang di sini.
Tapi, mobil itu mulai mengklakson tidak berhenti-berhenti. Aku melirik kesal pada mobil itu. Mobilnya memang mahal tapi berisik dan lagi tidak ada seorang pun di halte sekarang. Akhirnya, aku bangkit dari dudukku dan menghampiri mobil itu. Mengetuk kaca mobilnya.
"Permisi, berhenti mengklakson." Ujarku. kaca mobil itu turun dan aku kembali mengulangi ucapanku. Sopirnya meminta maaf namun dari kursi penumpang belakang aku mendengar suara yang kegirangan.
"Astaga.. Kau gadis yang waktu itu." Aku melirik ke arah kaca penumpang belakang yang sudah terbuka. Dia halmeoni yang waktu itu. Aku menundukkan badanku memberi salam.
"Kau mau ke mana? Aku akan mengantarmu." Halmeoni itu menawarkan tumpangan padaku. Awalnya aku menolak dan merasa tidak enak tapi mengingat aku juga mau mengembalikan amplop itu akupun mengiyakan. Terlebih lagi aku mau mengembalikannya dengan sopan. Tenang saja aku tidak akan memberitahu rumahku.
Aku duduk di sebelah halmeoni itu dengan canggung. Oke, mari pikirkan saja bagaimana mengembalikan uang ini dengan sopan. Singgung saja soal amplop itu sekarang atau ketika sampai di tujuan aku langsung kembalikan amplop itu dan kabur. Opsi kedua sepertinya tidak buruk, Oke gunakan opsi ke dua.
"Ah aku hampir lupa membahas ini. Waktu itu kau bilang kau tidak punya pacar kan?" Aku mengangguk mengiyakan.
"Aku akan langsung ke intinya saja. Aku punya dua cucu dan aku ingin kau bertunangan dengan salah satu dari mereka." WH-WHAT?! Maksudku kenapa aku? Kenapa juga harus susah payah memintaku jadi menantunya. bagaimana dengan pacar cucunya nanti atau coba cari saja di aplikasi pencari jodoh? Tidak lucu juga kalau misalkan kedua cucunya sudah punya pacar dan ada perdebatan di antar cucu dan nenek ini. Lalu, cucunya kabur dari pertunangan dan.. dan.. Lupakan. Ini bukan sinetron.
"Tapi, Halmeoni..."
"Sudah sampai. Kau turun di sini kan?" Aku tidak sempat berbicara lagi. Rasanya seperti diusir sebelum bicara. Aku turun dari mobil dan mobil itu langsung melaju menjauh.
"AMPLOPNYA! HAISHHHHH." Aku menghentakkan kakiku ke tanah. Ini artinya aku harus berurusan lagi dengan halmeoni tadi. Apalagi dia mau menjodohkan aku dengan cucunya. Lelucon bodoh apa lagi ini?
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Seventeen Imagine: Be mine?
FanficImagine Oneshot You and Seventeen member Season 1 (end) Season 2 (end) Special part (End)