Satu; Kak Genta

42 7 0
                                    

"Bu, ini bakal dibawa ke mana?" Susah payah aku berusaha memegang erat tumpukkan tinggi buku-buku ditanganku. Sementara Bu Maria melangkah tanpa beban di sebelahku dan tanpa membawa apa pun.

"Ke ruangan saya, tapi yang di lantai tiga ya," kata Bu Maria yang secara nggak langsung menambah beban di tanganku.

"Loh? Udah pindah lantai, Bu?" tanyaku spontan sambil memperbaiki posisi buku supaya tidak miring. Bu Maria tertawa renyah,

"Sudah, dong. 'Kan sekarang sudah beda jabatannya," jawabnya penuh pecaya diri.

"Oh... jadi naik pangkat, naik juga kantornya ya, Bu?" Aku merespon. Sejujurnya aku sendiri baru tahu tentang hal ini.

"Iya lah. Eh, di sini tangganya," Bu Maria lalu memberi arahan untuk naik tangga sampai ke lantai tiga.

Lantai tiga memang mayoritas kantor-kantor guru dan pimpinan, jadi tidak heran kalau sepi. Ada sih beberapa siswa, tetapi mereka juga pasti yang dimintai tolong untuk ke kantor, seperti yang sedang kulakukan.

"Sini, Bel," Bu Maria menunjuk sebuah meja kosong untuk kuletakkan buku-buku.

"Siapa ini~? Lasmaya 'kan ya? Saya suka hafal muka tetapi lupa nama. Hahaha..." Sapa seorang guru tiba-tiba. Aku tahu itu Bu Jane hanya melihat dari cepol tinggi ciri khasnya. Aku mengangguk sambil terkekeh sedikit,

"Hehe... betul, Bu. Abel Lasmaya,"

"Udah selesaikan catatannya belum? Kemarin katanya belum selesai. Saya sudah kasih waktu loh," kata Bu Jane. Aku berusaha tersenyum. Kenapa tanyanya harus di kantor guru sih, Bu?

"Udah dong, Bu. Masa belom? Kebangetan itu mah," jawabku seringan mungkin.

"Punya siapa kau pinjam itu kemarin? Jangan lupa dibalikkan itu nanti yang punya nyari-nyari lagi," cerocos Bu Jane. Aku berusaha mengingat buku siapa yang kupinjam dua minggu lalu.

"Kemarin sih kayaknya punya Bisma, Bu,"

"Walah... pasti nggak lengkap itu. Jangan pinjam dia. Kamu pinjam ke orang yang lengkap catatannya," jelas Bu Jane. Aku berpikir. Kemarin kulihat punya Bisma sama lengkapnya dengan yang lain kok?

"Nih, kayak Genta nih. Setiap hari catatannya ada, apa aja dicatat sama dia. Ini jangan-jangan guru lagi curhat di kelas juga dicatat ya? Betul, Genta?" celetuk Pak Dirman dari mejanya di sudut ruangan.

Mendengar nama yang tidak asing, aku refleks menoleh. Genta dengan hoodie warna hitamnya.

Pria tinggi itu tertawa kecil menanggapi Pak Dirman. Tiga detik aku tertegun melihat senyumannya. Tolong seseorang bawa aku keluar dari sini! Bendera putih!

"Nggak mungkin lah, Pak," jawabnya singkat.

"Kalau kamu sama kayak Genta, bisa tuh kamu pinjam catatan dia. Sayang kalian beda angkatan ya? Kamu di bawah Genta, 'kan, Bel?" Kini giliran Bu Maria yang bertanya. Aku mencoba tenang dan kemudian mengangguk sebagai jawaban.

"Iya, Bu. Saya kelas 11, Kak Genta 12," kataku. Dalam hati aku bersyukur grogiku tidak kentara.

"Saya izin turun ya, Pak," pamit Genta yang dibalas anggukan Pak Dirman. Tanpa sadar mataku mengiringi kepergiannya.

"Kamu ngapain lagi, Bel? Udah selesai, 'kan? Dah, jajan sana," Suara Bu Maria membuyarkan momenku mengagumi Genta.

Aku pun ikut pamit dari kantor karena sudah diusir Bu Maria. Kalau begini jadinya, kenapa tadi aku tidak pamit duluan saja seperti Genta? Kesal.

Beyond (+ Acrimonious) | SHORT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang