17. Bujuk

92 21 0
                                    

"Kok muka lo sedih gitu, Zi? Kenapa?" tanya Aina yang duduk bersebrangan dengan Zidni. Ya, mereka sudah kembali setelah memesan makanan.

Zidni mengangkat wajahnya memberi perhatian pada Aina. "Ah, masa? Enggak kok, gue biasa aja." Zidni tersenyum canggung.

"Lo gak bisa bohong sama kita, Zi. Kita ini tau banget lo orangnya gimana. Kenapa-kenapanya lo dan gak papanya lo kita pasti tau. Jadi, kenapa lo seharian ini kelihatan beda? Lo lagi ada masalah?" tentu saja Berlin mengetahui ada yang Zidni coba sembunyikan dari mereka. Cewek itu tidak pintar berbohong.

"Beneran gue gak papa. Gue biasa aja kok. Gue cuma sedikit pusing aja, jadi kelihatan kurang semangat," ucap Zidni tersenyum tipis.

Citra mengangguk paham. "Ya udah, kalau lo emang beneran lagi gak kenapa-kenapa. Tapi inget, kalau ada masalah, cerita sama kita. Jangan dipendem sendiri. Bagi sulitnya, Zi."

"Sejak kapan sih kalian jadi cerewet banget gini?"

"Iya gue juga heran. Apalagi Citra tuh, biasanya diem kayak lagi hari pertama PMS sekarang jadi bawel." Aina terkekeh.

"Mungkin itu karena kita terlalu khawatir sama lo."

"Thanks." Zidni kembali tersenyum. Hatinya terasa sedikit membaik setelah mendengar perkataan kawan-kawannya.

"Eh, gue denger-denger dari anak sebelah katanya bakalan ada tauran pulang sekolah. Bener?" tanya Citra memastikan. Pasalnya tadi dia sempat mendengar obrolan cewek kelas IPA 1 yang membicarakan tentang tauran yang akan terjadi saat pulang sekolah.

"Emang iya? Kok gue gak denger beritanya. Biasanya kalo ada yang kayak gini anak Mentari langsung heboh." Aina menggaruk alisnya.

Berlin menaruh sendoknya setelah batagor pada piringnya sudah habis. "Gue sedikit gak yakin deh. Karena anak-anak Mentari udah hampir satu tahun ini gak pernah kedengeran berita soal tauran-tauran lagi. Lagian Mentari ada musuhan sama sekolah mana coba? Gue yakin sih, gak akan ada yang berani ngelawan Mentari. Lo tau sendiri, angkatan tiga sekarang dipegang sama siapa."

"Siapa?" tanya Zidni dengan polosnya. Membuat ketiga temannya langsung bergeming.

Beberapa saat, tidak ada juga yang mau menjawab pertanyaanya. Membuat Zidni semakin penasaran. Lantas ia kembali bertanya. "Siapa?"

Berlin melirik Aina dan Citra memberi tatapan bertanya apakah ia boleh menjawab apa tidak, keduanya hanya mengangguk ragu. Melihat tatapan Zidni yang seperti menunggu jawaban akhirnya Berlin memberanikan dirinya.

"Gavan." Akhirnya satu nama itu meluncur dari mulut Berlin.

Zidni terhentak kaget. Matanya mengerjap pada Berlin seolah tidak yakin dengan jawaban yang dia berikan. "Gavan? Gavan Orion Agustin?"

Mereka mengangguk, meringis melihat reaksi Zidni yang tampak tidak terima dengan kebenaran yang ada. Mereka diam termangu membuat suasana kantin yang ramai menjadi tidak terasa sama sekali.

"T-tapi lo jangan berpikiran negatif dulu. Memang iya Gavan dipercaya buat megang angkatan tiga setelah senior lulus, tapi dia dari awal nolak. Dia gak mau terikat sama status itu, katanya sih karena ada alesannya."

"Alesan apa?" Zidni kembali bertanya. Sekarang kepalanya sudah dipenuhi dengan rentetan pertanyaan yang membuatnya semakin penasaran.

"Gak ada yang tau selain dia, temen-temennya dan para senior. Tapi walau pun nolak, anak-anak Mentari tetep jadiin dia sebagai pemegangnya." Sebenarnya baik Citra, Aina dan Berlin ragu untuk membicarakan persoalan ini jika saja tadi mereka tidak keceplosan.

OCCASION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang