Satu

28 7 0
                                    


"Lia. Ayo cepetan dong! Lama amat sih? Ntar telat nih," teriak seorang gadis dengan membahana dari lantai satu rumahnya. Begitulah kegiatan di setiap pagi harinya. Rame sekali sudah seperti pasar. Gendang telinga udah hampir pecah kalo harus dengar dia teriak dan ngomel.

"Masih jam 6 juga. Bentar lagi." Lia menjawab teriakan kakaknya yang hanya terpaut umur satu tahun.

"Hee, ini tuh hari pertama gue masuk sekolah, yaa. Cepet mandi," geram Luna sambil melotoykan matanya dan berkacak pinggang.

"Luna. Lia. Kenapa sih beranteeeem mulu kerjaannya. Bisa gak sih sehari aja kalian berdua akur. Bisa?" Mama Neni tiba-tiba datang dan menengahi kakak beradik itu.

"Itu si Lia. Bukannya mandi malah masih santai aja. Hari ini kan seharusnya jadi hari yang indah buatku, Mah." Luna memonyongkan bibirnya dan menghentakkan kakinya yang sudah bersepatu itu. Mama Neni hanya mampu menggelengkan kepalanya melihat kelakuan anak sulungnya itu.

"Lia. Cepet mandi. Nanti telat, loh. Hari ini ada upacara, 'Kan?" tanya Mama Neni seraya menyuruh Lia bergegas mandi. Lia yang sedang duduk sambil menonton kartun kesukaannya di pagi hari itu langsung memoloh dan beranjak dari rebahannya. "Iya, iya." 

Lia berjalan menuju kamar mandi untuk segera bersiap pergi sekolah. Luna yang melihat adiknya mulai berjalan menuju kamar mandi tersenyum senang. "Puas, Lo." Lia mendesis kan satu kalimat yang tak bisa di dengar oleh kakaknya itu tetapi dia menunjukkan wajah kesalnya. Luna membalas dengan menjulurkan lidahnya.

"Mah, nanti gimana ya sekolahku? Eh, seragamku udah rapi, 'Kan?" tanya Luna dengan antusiasnya.

"Sudah, kok, sayang. Nanti jangan lupa belajar yang bener," jawabnya dengan senyum tulus serta mengusap rambut hitam milik Luna. "Cari temen yang banyak, yaa, biar kamu gak sendirian."

"Siap, bos." Tangan kanan Luna diangkat dengan keempat jarinya dirapatkan dan ditempelkan ke pelipis sementara ibu jarinya ia tekuk ke dalam layaknya pasukan tentara yang mendapat perintah. Mamahnya hanya terkekeh kecil melihatnya.

"Yaudah, kamu tunggu adekmu sambil duduk tuh di situ," kata Mama Neni dengan menunjukkan kursi melalui dagunya. "Mamah mau lanjutin nyuci dulu. Awas kalo sampe berantem lagi." Luna menganggukkan kepalanya berkali-kali dan melangkah menuju kursi yang ditunjuk oleh mamah Neni. Sementara itu, mamah Neni kembali menuju dapur.

Sepuluh menit sudah terlewati tetapi, belum ada tanda-tanda kemunculan Lia dari kamarnya. "Liaaa! Cepet udah siang!" Lagi dan lagi, Luna berteriak dengan nada dan mimik yang kesal bukan main. "Iya," jawab Lia sambil berjalan menuruni tangga.

"Gak sabaran banget Lo. Masih jam segini juga. Mau gantiin pak satpam Lo?"

"Ish, Lo itu. Sama kakak sendiri gak ada sopan santunnya, yaa," jawab Luna sambil melangkah menuju mobil yang sudah siap. "Cepetan! Mau gue tinggal, Lo?"

"Iyaaa, kakakku yang kyud," balas Lia sambil mempercepat langkahnya hingga berjalan berdampingan bersama Luna. "Mamah, kita berangkat dulu," teriak Luna tepat di samping telinga Lia.

"Heh, Lo tuh, yaa. Kalo ngom ...." Ucapan Lia terpotong karena Luna sudah mempercepat jalannya dengan santai. Dia mengejar kakaknya dengan menghentakkan kakinya, sementara Luna dia sudah duduk manis di dalam mobil. Lia duduk di depan, dia tidak sudi jika hari ini harus marah-marah lagi karena kakaknya itu.

"Ngapain Lo di duduk di depan?" tanya Luna penasaran.

"Ayo, Pak."

"Baik, Neng." Mang Nurdin, supir keluarga duo L segera menginjakkan gas dan berlalu meninggalkan pekarangan rumah dengan dua lantai yang tidak besar-besar amat.

"Heh, Uli. Jawab pertanyaan gue. Ngapa Lo duduk di depan?"

"...."

"Lo tuli? Perlu ke dokter THT, nih," asumsinya.

"...."

"Wah serius, nih. Ntar pulang dari sekolah harus kasih tau mamah, nih." Dengan semangat membara, Luna terus saja mengoceh tak jelas. Padahal, Lia dari tadi hanya diam sambil memperhatikan jalan.

"Maaf, Neng. Ini teh mau ke sekolah siapa dulu, ya?" selamat mang Nurdin memotong praduga dari Luna.

"Ke sekolah Luna dulu, Pak."

"Ke sekolah Lia dulu, pak."

Luna dan Lia menjawab bersamaan sehingga membuat mang Nurdin bingung harus menuruti siapa.

"Gue dulu yaa. Sekolah gue kan Deket dari sini," kata Luna.

"Enak aja. Gue dulu, lah. Ayo, Pak."

"Eh, gak bisa gitu dong." Luna memajukan kepalanya sehingga berada di tengah-tengah antara mang Nurdin dan Lia.

"Ntar, gue telat. Gue dulu!"

"Suruh siapa Lo lama. Makanya kalo disuruh siap-siap tuh cepetan. Bukan malah reb–"

"Udah. Cukup!" Lia menempelkan tangannya ke muka kakaknya itu yang super bawel. "Ke sekolah Luna dulu, pak."

"Nah, gitu dong." Luna kembali duduk anteng di kursi tengah mobil itu. Sementara mang Nurdin langsung tancap gas ke sekolah Luna setelah lampu merah di perempatan jalan Sudirman.

Sekolah Lia dan Luna memanglah berbeda karena kini Luna sudah masuk ke sekolah menengah atas sedangkan Lia harus menyelesaikan menengah pertamanya yang tinggal satu tahun lagi. Sebenarnya, sekolah SMPnya tidak lumayan jauh. Hanya butuh 15 menit dari sekolah Luna. Namanya juga Jakarta. Kalo 15 menit itu yaa bisa jadi 30 menit, karena macet di titik tertentu.

"Sudah sampe, Neng," kata Mang Nurdin mengagetkan Luna yang sedari tadi sedang melamun.

"Iya, pak. Terima kasih," jawab Luna, "selamat menjalani hukuman yaa, Uli. Dadah." Luna segera turun dari mobil dan melambaikan tangannya sekilas. Dia kemudian berbalik badan, mengedarkan netranya ke segala penjuru.

Sebelum melangkah masuk ke sekolah barunya, dia kembali merapikan bajunya dan melihat arloji yang melingkar indah di tangan mulusnya. memantapkan hatinya untuk kembali mencari ilmu dengan sesuana yang berbeda dari 9 tahun lalu. Sekarang buku baru dengan lembaran baru itu segera tertuang dengan indahnya masa putih abu-abunya.

***

My RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang