Part 14. Hancur

129 11 1
                                    

"Lebur terkubur hancur harapanku untuk hidup dan makmur,"

                      -Bara-

Langkah Bara belum sempurna namun ia akan tetap bekerja supaya tidak di siksa di rumah, satu hal yang selalu membayangi angan Bara yaitu kata-kata dari Liora.

"Bekerja kalo kamu ingin hidup," gertak Liora.

Kata itu terngiang-ngiang di pikiran Bara,membuat ia tidak patah semangat untuk bekerja, ia masih ingin hidup.

Bara sudah sampai di bangunan menyapa para kuli-kuli lain yang sudah bekerja, ia turut membantu tanpa ada sepatah dua patah kata di antara mereka. Hanya sesekali tersenyum satu sama lain, Pak mandor dengan bijaksana mengatur semua kuli-kulinya tanpa membeda-bedakan satu sama lain.

Keramik datang di bawa mobil bak terbuka lalu berhenti di depan bangunan, para kuli mengangkat keramik itu ke dalam dengan cara berbaris dan memberikan antara kuli satu hingga yang terakhir.

Kebetulan yang terakhir Bara, saat Bara hendak membawa masuk keramik itu ke dalam bangunan tiba-tiba ia tersandung dan melepaskan tumpukan keramik dalam kardus, hal itu membuat keramik yang terlepas dari tangan Bara jatuh dan pecah.

"Prakk," suara keramik yang terjatuh

Pak mandor yang berada di luar ketika mendengar suara itu langsung terlonjak kaget.

"Ada apa itu," ucap pak mandor langsung masuk ke dalam bangunan mencari sumber suara.

Ia mengedarkan pandangan melihat keramik yang terjatuh tak jauh letaknya dari Bara.

"Bara!" Tegur pak mandor mendadak marah menghampiri Bara yang pelan-pelan berdiri.

"Kamu ini gimana sih! Buat rugi saya saja, ini kalo bos tau saya bisa kena marah. Sekarang kamu saya pecat tana pesangon untuk mengganti keramik yang kamu pecahkan," gertak pak mandor dengan nada tinggi.

"Ma--maaf pak, jangan pecat saya. Saya janji gak akan ulagi kesalahan saya lagi, sekali lagi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya pak jangan pecat saya," pinta Bara sambil berlutut mencium tangan pak mandor

"Arrgh! Gak ada maaf-maafan, sana pergi kamu," elak pak mandor menarik tangannya kasar membuat Bara tersungkur.

Bara menintikkan air di sudut matanya dengan kesedihan yang sangat dalam, ini bukan pertama kali ia di pecat namun setiap kali di pecat tubuhnya selalu roboh.

"Bara gak boleh jadi cowo yang lemah! Bara harus kuat. Cowo gak boleh nangis," gumam Bara dalam batin sambil pelan-pelan berdiri.

Ia melangkan kakinya berat, sudah buntu pikirannya untuk mencari uang namum kalau pulang gak bawa uang pasti di usir sama ibunya. Ia memilih angkat barang untuk sementara sebagai pesangon pulang.

Ia mengangkat barang dari pagi hingga sore lalu beristirahat di taman sambil memandangi orang-orang yang berlalu lalang, Cahaya yang tetap setia mengikuti kemanapun Bara pergi mengambil kesempatab untuk menghampiri Bara sambil membawa gitar kecil.

"Selamat sore Bara, kamu ngapain duduk disini sore-sore. Biasanya kamu udah pulang jam segini," sapa Cahaya dengan ceria.

"Sore, gapapa," jawab Bara cepat.

"Kamu mau nggak ngamen sama aku, nanti hasilnya kamu bawa pulang aja. Lumayankan buat nambah penghasilan," ajak Cahaya dengan senyum terpancar.

"Maaf. Nggak," elak Bara dingin tanpa menghiraukan Cahaya di sampingnya.

"Kalo gitu aku kasih gitar ini ke kamu ya, moga aja bermanfaat," ucap Cahaya menyodorkan gitarnya pada Bara dengan senyum tipis.

"Makasih," sahut Bara menerima sodoran Cahaya.

Melihat itu Cahaya girangnya minta ampun namun di tahan sebab ia masih berada di dekat Bara lalu ia beranjak pergi meninggalkan Bara yang tak mengalihkan pandangannya selain ke depan.

Hari hampir gelap, Bara sampai rumah tak langsung masuk. Ia terlebih dahulu duduk di kursi teras sambil nenunduk.

Liora yang menanti sedari tadi mulai marah dan mempercepat mondar-mandirnya di ruang tamu, ia tak tau kenapa beban keluarga itu pulang sepetang ini hingga ia mencoba mengintip dari jendela ternyata Bara ketiduran di kursi teras.

"Anak ini emang keenakan ya, awas aja kamu," ucap Liora geram.

Ia membawa raket kasur dari dalam dan langsung di pukulkan ke badan Bara yang belum sepeluhnya pulih. Bara terlonjak langsung duduk.

"Bakk," suara tulang punggung Bara terpukul oleh raket kasur.

"Aww sakit bu," rintih Bara menegangi punggungnya.

"Kamu sengaja ya tidur di sini biar gak di marahin sama aku! Dasar anak cuma jadi beban aja ya kamu. Sekarang jangan panggil aku ibu lagi, aku gak mau punya anak gak berguna kayak kamu," Teriak Liora memaki-maki Bara yang menunduk di sampingnya.

"Kalo bukan ibu lalu aku harus panggil ibu apa? Ibu itu ibu yang aku bangga-banggakan, maafkan jika aku gak berguna bu ... hiks ... hiks aku ini anakmu, jangan beginikan aku bu, aku jadi merasa gak di anggap bu," ucap Bara berlutut di kaki Liora.

"Ha anak? Anakku bukan cengeng dan lembek kayak kamu! Udah gitu gak berguna lagi. Kalo kamu berguna coba mana hasil kerjamu hari ini? Mana!" Pinta Liora mrmbuat Bara seketika terdiam.

"Gak ada bu, Bara di--di pecat," ucap Bara terbata-bata.

Liora langsung mendorong tubuh Bara hingga tersungkur di lantai, ia menarik rambut Bara kuat lalu ia dekatkan dengan mukanya.

"Mulai detik ini, kau bukan anakku!" Ucap Liora pelan namun tajam.

Deg!

Jantung Bara bekerja tak karuan, apa ia tak salah dengar dengan apa yang ibunya ucapkan. Dahulu di sia-siakan dan kini tak di akui? Badan Bara lemas terkulai lemah di lantai. Seakan dunia telah menelannya dalam-dalam.

Ia mencoba bangun dengan pegangan dinding lalu merambat menuju gudang, di dalam rumah keluarganya lengkap sedang bercanda gurau di ruang tamu tanpa menghiraukan keadaanya.

Benar-benar hancur dunia Bara berantakan, perjuangannya sia-sia saja. Sampai di gudang, ia terlentang di lantai karena saking sakitnya tubuh dan hatinya. Ia hingga tidak bisa menempatkan tubuhnya dengan baik.

Ia menyalakan lilin yang ia letakkan tak jauh dari tempat ia tergeletak.

"Ibu hiks ... hiks ... aku tak di akui sama ibu kandung aku bu hiks, duniaku hancur bu. Duniaku hancur huhuhu," ucap Bara di selingi isakan tangis dan menumpahkan semua isi hatinya.

Lilin yang tak pernah padam Itu akhirnya padam karena air mata yang tak berhenti dari mata Bara, usai curhat Bara memeluk lilin yang sudah padam erat. Ia bayangkan bahwa lilin itu ibunya yang selalu ada di sampingnya. Ia rawat dengan baik dan penuh kasih sayang.

Terkadang ia juga meminta ibunya untuk datang ke mimpinya sekali lagi supaya ia bisa merasakan pelukan hangat dari Almh. Ratna namun itu bagai menggapai suatu hal.yang tak mungkin.

                  Bersambung

Bara [END] OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang