21 | It's Not Fate

35 16 4
                                    

"Hidup bukan sesederhana binari oposisi yang mengelompokkan baik buruk atau hitam putih. Hidup lebih rumit dari memisahkan baik dan buruk atau menjauhkan hitam dan putih. Hidup adalah abu-abu yang penuh ragu dan tidak tahu."

Para orang tua itu benar, jika dunia itu punya banyak hal yang belum diketahui dan saat manusia mengetahuinya mungkin mereka akan merasa jika itu hal mustahil dan gila

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Para orang tua itu benar, jika dunia itu punya banyak hal yang belum diketahui dan saat manusia mengetahuinya mungkin mereka akan merasa jika itu hal mustahil dan gila. Itu yang dirasakan Qila saat ini.

Dari kumpulan perasaan yang dia rasakan sekarang, Qila tidak bisa menentukan mana yang benar-benar dia rasakan. Bahagia, karena menemukan buku Speranza. Terkejut, atas hal-hal yang tidak dia duga. Bingung, pada banyak hal yang berlalu-lalang di pikirannya. Resah, karena Qila sendiri tak mampu memilih jawaban yang tepat dari semua praduganya. Dari skala satu sampai sepuluh, Qila tidak bisa menentukan pasti pada skala berapa perasaannya ditakar.

Dia hanya berdiri mematung di ambang pintu atap dan menyaksikan dua temannya yang semula Qila anggap tidak saling kenal sekarang mereka berdua sedang berinteraksi. Qila berkedip berkali-kali, siapa tahu dia salah menyaksikan.

Qila berlari dan meraih buku Sperenza yang dikeluarkan oleh Evan dari dalam tas gitar, meraihnya cepat dan menodongkannya pada Raga.

"Aku mencarimu!" Untuk pertama kalinya Raga melihat Qila berteriak padanya, teriakan yang penuh emosi. "Aku mencarimu kemana-mana. Aku melihatmu, aku memanggilmu, dan aku mengikutimu hingga ke perpustakaan, lalu ...."

Qila menoleh pada Evan, memicingkan matanya lalu kembali menatap Raga. "Kalian saling mengenal?"

Evan membasahi bibirnya dengan gelisah, melirik Raga yang juga sama bingungnya harus menjelaskan dari mana. "Iya Qila. Kami bersahabat," jawab Evan.

"Apa?"

"Kami bersahabat sejak lama," jelas Raga.

Gadis itu meraup udara dengan kasar, menunduk dan menatap sambul buku di tangannya kemudian tersenyum tipis. "Kalian berhutang penjelasan padaku."

"Kenapa ...." Qila menghentikan ucapannya. Dia bingung harus bertanya dari mana, semua pertanyaan berebut ingin ditanyakan lebih dulu.

"Kenapa sampul buku ini sama dengan gambar gugusan bintang yang kau gambar di telapak tanganku?" tanya Qila sembari menunjukkan sampul buku Speranza pada Raga. "Kenapa kau menyuruhku mencari buku ini?"

"Kenapa ada gambar gunung Aitna di daun pintu lantai tiga? Kenapa? Pintu itu hanya bisa dibuka dengan memasukkan kata Aitna disana?" Kini Qila ganti menatap Evan sambil tangannya menunjuk-nunjuk arah gedung perpustakaan.

"Apa kalian sudah tahu tentang ini? Sedangkan aku?" Qila menunjuk dirinya sendiri. Dia tidak tahu, apakah Qila marah, sedih atau kecewa. Tapi yang Qila tahu adalah dia butuh jawaban. Dia merasa seperti orang paling bodoh disini.

"Karena itu kau sengaja memberitahuku tentang gunung itu, Evan?"

"Qila, aku tahu kau mungkin bingung. Tapi kau harus mendengarkan semuanya dengan tenang." Evan berusaha menenangkan Qila yang bertanya dengan menggebu-gebu.

SPERANZA  ✓ [Revised]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang