24 | My Dawn

67 15 11
                                    

"Buku harianku sudah penuh puisi yang selalu menyebut namamu. Dengan berat hati, aku menulis satu kata yang paling kubenci di halaman paling akhir. Usai."

Hujan sudah menyirami bumi bahkan sebelum matahari terbit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hujan sudah menyirami bumi bahkan sebelum matahari terbit. Kamar dengan luas tiga kali tiga meter itu sunyi. Tirainya masih tertutup rapat meski jam sudah menunjuk pukul sepuluh pagi.

Qila tidak berniat untuk beranjak dari kasurnya. Dia menarik selimut semakin ke atas hingga menutupi kepalanya. Gadis itu meringkuk sambil terisak. Sudah berapa jam dia menangis? Yang Qila tahu, gadis itu terjaga sepanjang malam dengan air mata yang tak kunjung kering.

Suara gemericik hujan memperparah kondisinya. Dingin dan menyesakkan bagi Qila.

Dia tidak pernah sesedih ini. Kehilangan Raga seolah merasakan ada bagian dari tubuhnya yang ikut ditarik pergi. Menyisakan ruang kosong yang begitu gelap dan menyesakkan. People said first love hurt the most. Dan Qila membuktikan itu sekarang.

Terdengar suara pintu diketuk dari luar. Terhitung sudah ketiga kali pintu kamarnya diketuk, entah oleh Bibi Narr atau Kakek Hans. Yang jelas mereka berdua mengkhawatirkan Qila yang tidak kunjung keluar kamar.

Bibi Narr berbicara dari luar. "Nona Qila, anda baik-baik saja?" Jeda beberapa detik, wanita itu melanjutkan. "Anda perlu sarapan."

Masih tidak ada sahutan dari Qila. Bib Narr kembali berucap. "Aku menaruh nampan di depan pintu." Wanita paruh baya itu menurunkan nampan berisi sarapan dan juga segelas susu kemudian melangkah pergi dengan wajah sedih.

Qila tak pernah seperti ini sebelumnya. Hal ini membuat Bibi Narr dan Kakek Hans khawatir. Hingga hari menjelang sore, Qila tak kunjung membuka pintu kamar dan Bibi Narr sudah dua kali mengganti makanan di nampan.

"Apakah dia belum keluar kamar juga?" tanya Kakek Hans sembari menuang air panas untuk kopinya.

Bibi Narr menggeleng, raut wajahnya cemas. "Ada apa dengannya? Apa yang terjadi di sekolahnya?" tanya Bibi Narr dengan pandangan menerawang.

Qila menyingkap selimutnya lalu beringsut duduk di meja belajar. Kakinya lemas dan tangannya gemetar. Gadis itu melirik buku Speranza yang tergeletak di meja belajarnya. Jika diingat-ingat kebelakang, Raga tidak pernah makan dan minum dihadapannya. Qila ingat saat dia membagi minum di tepi sungai usai mereka bersepeda atau saat dia membelikan Raga susu kotak dan laki-laki itu tidak meminumnya. Raga selalu terlihat mengamati langit setiap saat. Dia juga tidak berinteraksi dengan siswa lain kecuali Qila dan juga Evan.

Sejauh ini, Qila hampir tidak menyadarinya. Bahkan saat mereka pergi ke taman hiburan, setiap orang menatap Qila aneh. Qila kira itu hanya karena Raga memakai seragam. Gadis itu ingat saat Bibi Narr tergopoh-gopoh dan khawatir karena lututnya terluka. Mereka semua benar. Raga hanya fana.

Gadis itu melipat tangan di atas meja dan menelungkupkan kepalanya. Sekuat apapun bukti yang dia ingat, Qila tetap tidak rela dan justru semakin merindukan laki-laki itu. Dia masih tidak percaya jika Raga tidak nyata. Entah kenapa hatinya selalu berteriak jika Raga ada di suatu tempat yang amat jauh.

SPERANZA  ✓ [Revised]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang