[Bintang kecil di langit yang biru]
Sore itu hujan ketika Yaowen tiba di depan rumahnya. Lembab membuat suram suasana. Pemuda itu membuka pintu yang terbuat dari kayu dengan cukup pelan, kemudian meraba dinding guna mencari sakelar.
Pencahayaan remang memenuhi indra. Yaowen melangkah perlahan ke arah sofa, kemudian duduk di sana, abai terhadap pakaiannya yang setengah basah karena hujan yang mengguyur sejak pukul lima. Bukan, bukan karena ia bodoh untuk bermain hujan. Bukan pula karena terciprat air kubangan ketika tengah berjalan. Yaowen sudah cukup teliti untuk tak lupa mengikutsertakan payung pemberian Yaxuan pagi tadi. Hanya saja benda itu mendadak hilang ketika ia mencari. Mungkin tertinggal di gor indoor tempat ia latihan basket untuk kejuaraan akhir bulan nanti.
'Hari ini dia sedang ada di rumah, kan?'
Yaowen berdiri, membawa langkah panjangnya menuju dapur, meninggalkan tas basahnya di ruang tamu. Ia mengambil gelas dari rak, kemudian mengisinya dengan air yang dengan sengaja ia simpan di dalam kulkas. Dingin merambat ketika 250 mili liter air melewati tenggorokan tanpa jeda. Setelah itu ia berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Yaowen membuka pintu dan tak ada siapa-siapa di sana.
Tiba-tiba, dari arah belakang, Yaxuan muncul dengan seram. Yaowen terkejut dan hampir terjatuh kalau saja Yaxuan tak reflek menahan. Yaxuan tak bisa mengendalikan tawa saat melihat kembar fraternalnya memasang wajah murka. Mata yang sok tajam itu terlihat seperti bayi elang yang sedang berburu mangsa.
"Baru pulang?" tanya pemuda tujuh belas tahun itu. Ia melompat ke atas ranjang secara tiba-tiba, meninggalkan derit yang menggema hingga ke sudut-sudut kamar Yaowen yang hampa. Sedangkan Yaowen melangkah ringan menuju lemari pakaian, mengganti seragam basah dengan sepasang piyama berwarna hitam, kemudian ikut merebah di atas ranjang, tepat di sisi sang kembaran.
Pakaian basahnya dibiarkan teronggok di sudut ruangan.
Yaowen menaruh kedua lengan di bawah kepala. Kini bantal besar di kepala ranjang seolah hanya benda bodoh yang bahkan tak digunakan oleh pemiliknya. Atau Yaowen saja yang bodoh karena tak ingin menggunakannya.
"Sudah berapa kali kita begini?"
Entah karena alasan apa, Yaowen tak ingin berpaling dari silau cahaya lampu yang entah sejak kapan mulai cocok untuk dijadikan pelarian. Acuh tak acuh meski pertanyaan yang ia lontar nampak retoris bagi Yaxuan. Yaowen bahkan hanya melirik ketika Yaxuan menoleh dengan alis mengerut, seolah ekspresi itu menyuarakan ketidakmengertiannya atas pertanyaan barusan.
"Begini apanya?" tanya Yaxuan kebingungan.
"Jangan pura-pura lupa! Ini kamarku!" bentak Yaowen, sedikit merasa kesal. Polos boleh, bodoh jangan. Sialnya dua sifat itu sama-sama melekat di diri Yaxuan. "Sudah tiga hari kau di kamarku!"
Yaxuan tertawa, padahal tak ada candaan dalam obrolan mereka. "Selagi masih bisa, Xiao Wen. Memang kau mampu apa tanpa Yaxuan Xiao gege?"
Petir menyambar, menyatu dengan gelak sang kakak yang entah mengapa terdengar begitu hambar. Yaowen tak tahu di mana letak kesalahan itu, tapi ada rasa tak nyaman yang merambat dan itu benar-benar mengganggu.
Pada akhirnya Yaowen hanya tersenyum miris. Di luar masih gerimis.
"Bagaimana sekolahmu?" Yaxuan membuka topik lain setelah nyaris lima menit keduanya beku dalam hening di tengah gema rintik hujan. Yaowen yakin kakak lima belas menitnya itu memperoleh delapan puluh sembilan persen untuk introvert, tapi tes kepribadian memang tak pernah sepenuhnya benar. Buktinya Yaxuan masih banyak bicara bahkan meski ia tahu suaranya akan sesekali teredam oleh petir yang menyambar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Acapella[√]
Fanfiction[Oneshot story] Yaxuan adalah melodi tanpa warna. Yaowen adalah nyanyian tanpa tangga nada. [Tolong banget ini bukan BL. Aku gak nulis BL dan gak akan pernah nulis BL. Bromance tidak sama dengan BL. Jangan pukul rata cerita dengan tokoh utama dua la...