17. Regret

1.1K 72 4
                                    

Dering ponsel membuat tangisan seorang gadis terhenti. Ia membuka tangan yang menutupi wajahnya, menghapus bekas air mata yang ada dipipinya, dan mengambil ponselnya yang berada disaku kemeja sekolahnya.

Jihan melihat layarnya yang bertuliskan 'Bunda' sebagai si penelepon. Ia menoleh pada Julio yang kebetulan saat itu juga menatapnya dengan tatapan bertanya.

"Bunda," ujar Jihan memberitahu.

"Yaudah angkat aja," suruh cowok itu.  Jihan mengangguk kaku, ia berdehem pelan untuk menyesuaikan suaranya mungkin sedikit serak karena habis menangis.

Setelah itu, Jihan berani mengangkat telepon dari ibu mertuanya itu. "Assalamualaikum, Bunda," sapanya berusaha baik-baik saja.

"Waalaikumsalam. Gimana keadaan kamu?"

"Jihan baik kok, Bund. Bunda sendiri gimana? Kapan bakal pulang?" Diam-diam air matanya kembali lolos dari kedua matanya.

"Alhamdulillah baik, 4 hari lagi Ayah sama Bunda pulang."

Jihan menganggukan kepalanya pelan sambil menghapus air matanya yang masih terus menetes.

"Bunda jaga kesehatan ya disana."

"Pasti, sayang."

"Suaramu kenapa? Kok serak?"

Mendapat pertanyaan itu sontak membuat Jihan sedikit terkejut. Apakah begitu kentara suaranya jika ia habis menangis? Ia menoleh, menatap Julio yang ada di sebelahnya seolah bertanya 'gue harus alasan apa?'. Julio menggeleng dan mengedikkan bahu tanda tak tau.

"Emmmm... Itu... Tadi... Ah tadi kebanyakan minum air dingin, jadi agak serak gitu, Bun."

"Oalah, jangan sering-sering minum dingin, nggak begitu baik." Jihan menghembuskan nafas leganya. Beruntung Jasmine percaya pada alasannya yang walaupun terkesan dibuat-buat.

"Tapi kamu beneran nggak papa kan?" tanya Jasmine sekali lagi untuk memastikan.

"Iya, Bunda. Aku nggak papa kok."

"Yaudah, kalo gitu Bunda tutup ya. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Setelah menutup panggilan teleponnya dan meletakkan ponselnya pada nakas, Jihan menoleh pada Julio yang sedari tadi menatapnya dengan tatapan penasaran.

"Bunda ngomong apa? Kapan Ayah sama Bunda pulang?" tanya cowok itu beruntun.

"Ya kayak jadwal, 4 hari lagi." Jihan beranjak dari duduknya dan mengambil handuk yang di gantung di dekat kamar mandi. "Gue mau mandi. Lo keluar sana."

"Tapi lo beneran nggak papa kan?"

"Iya gue nggak papa kok." Jihan memberikan senyuman kakunya. Julio mengangguk paham dab keluar dari kamar kakaknya dan kakak iparnya.

Setelah melihat pintu tertutup kembali, Jihan berbalik masuk kedalam kamar mandi. Ia menghidupkan shower yang ada diatasnya dan hal itu secara otomatis membuat tubuh beserta bajunya basah. Ia membiarkannya saja.

Diam-diam air mata Jihan kembali menetes bercampur dengan air shower. Ia masih sangat terpukul dengan kata-kata Julian yang menyalahkannya atas terjadinya pernikahan ini. Cowok itu masih belum bisa menerimanya dan menerima pernikahan mereka. Julian juga masih belum bisa membuka hatinya untuk dirinya dan memutuskan untuk meninggalkan Jingga agar dapat Jihan miliki seutuhnya.

***

Setelah mandi, Jihan keluar dari kamarnya sudah lengkap dengan dress selututnya. Terlihat rapi dan seperti ingin pergi. Saat dipertengahan tangga, ia berpapasan dengan Julian yang menatapnya dengan tatapan sinis, tajam, dan terkesan mencemoohnya. Jihan langsung menundukkan pandangannya dan segera melanjutkan langkahnya. Ia masih merasa sakit hati dengan Julian dan hal itu membuat tak sanggup menatap lama wajah suaminya itu.

Jihan menemui Julio yang saat itu kebetulan ada ruang keluarga sedang menonton kartun dengan memangku satu toples keripik di pahanya. Nikmat dunia.

"Yo. Gue mau main ke rumah orang tua gue dulu ya,"

Saat mendengar itu, Julio sedikit terkejut. Bahkan keripik yang akan ia masukkan ke dalam mulut, ia urungkan. Ia malah memasukannya ke dalam toples kembali. Ia memotong ucapan Jihan, "Lo mau minggat?"

"Kagak,"

Lagi-lagi Julio memotong kata-katanya, "terus lo mau ngapain kesana?"

Jihan berdecak kesal. Bagaimana cowok itu bisa paham kalo dari tadi kata-katanya selalu dipotong?

"Gue kesana cuma buat main aja. Gue nanti balik habis isya, jadi gue sekalian makan malam disana."

"Oalah. Kirain mau minggat." Julio menyenderkan punggungnya lagi pada sandaran kursi. Baru beberapa detik, ia kembali menegakkan punggungnya. Ia teringat sesuatu. "Terus makan malam gue sama Julian gimana?"

"Lo pesen aja." Julio membentuk lambang ok pada tangannya dan kembali fokus dengan kartun dan camilannya.

Setelah itu, Jihan melanjutkan langkahnya keluar dari pintu utama. Ia duduk di teras rumah menunggu taksi yang sudah ia pesan tadi.

Tak lama, taksi itu datang. Ia keluar dari gerbang rumah dan segera masuk ke taksi tersebut. Mobil taksi itu berjalan menjauhi rumah menuju tujuan sang penumpang.

***

Jihan memencet bel rumah tempat tinggalnya dulu. Tak lama, wanita paruh baya keluar dengan senyum bahagia yang membuat Jihan juga secara otomatis melengkungkan bibirnya membentuk bulan sabit.

Iren memeluk Jihan erat, melampiaskan rasa rindunya pada putri sulungnya itu. Tak lama setelah itu, Iren mengurai pelukannya dan mengajak Jihan untuk masuk. Mereka duduk di sofa ruang tamu. "Kamu kenapa nggak ngabarin Mama kalo mau kesini?" tanyanya. "Kamu sendiri?"

"Aku kangen sama rumah. Iya, aku sendiri naik taksi kesini."

"Kenapa nggak sama Julian? Kalian nggak lagi marahan kan?" Mendapat pertanyaan itu membuat Jihan menggeleng cepat. Ia tak ingin ibunya tau tentang permasalahannya dan membuat beliau khawatir. "Nggak kok, Ma. Kami nggak marahan. Tadi Julian kayak kecapean gitu habis pulang sekolah, jadi aku sendirian aja kesini."

"Oh iya, aku sekalian makan malam disini nanti nggak papa kan, Ma?" sambungnya.

"Ya boleh lah, Han," jawab Iren. "Ini kan masih tetap rumahmu. Jadi kamu bebas ngapain aja disini."

Hati Jihan menghangat saat mendengar itu. Keluarga yang membesarkannya dari kecil, akan selalu menerimanya apapun keadaannya, walaupun ia sudah menikah saat ini.

Jihan menatap sekeliling, keadaan rumah sangat sepi saat ini. Jihan mengernyit bingung. Tumbenan sepi gini, batinnya.

"Rumah kok sepi, Ma?" tanya Jihan.

"Papa kan belum pulang. Jingga lagi di kamarnya, mungkin tidur ato gimana, soalnya dari tadi nggak ada suara." Jihan mengangguk paham. Setelah itu, ia berdiri dari duduknya. "Aku ke kamar ya, Ma," pamitnya yang langsung mendapat anggukan dari Iren.

Setelah itu, ia menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Ia membuka pintu berwarna putih yang di luarnya tergantung namanya.

Jihan memasuki kamarnya yang bernuansa pastel, warna kesukaannya. Jihan duduk di tepian ranjang. Ia sedikit termenung disana. Seandainya ia belum menikah, ia pasti masih memiliki kehidupan nyamannya. Seandainya ia belum menikah, ia tak akan merasakan sakit hati seperti ini. Dan masih banyak kata seandainya yang berdengung bersahut-sahutan di telinganya yang membuatnya sedikit menyesal karena telah menjadi istri orang.

Jihan menghela nafas beratnya. Ia memutuskan untuk tidur saja sembari menunggu adzan maghrib berkumandang, daripada semakin banyak penyesalan yang menumpuk di hati dan pikirannya.

***

Fairahmadanti1211

Julian Untuk Jihan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang