Mean mengambil langkah yang tak diduga sahabatnya. Ia mendatangi Plan di apartemennya dan kemudian membawa Plan kepada Tonnaam dan meminta Tonnaam untuk mengurus pernikahan mereka.
Tentu saja Plan kaget setengah mati. Kedatangan Mean saja di depan apartemennya sudah membuatnya shocked apalagi sekarang dengan pernikahan mereka yang tiba-tiba.
Tonnaam hanya menggaruk kepalanya. Ia sudah tahu Mean Phiravich. Dan jika Mean sudah begitu, tak ada yang bisa menentangnya.
Tonnaam berbicara dengan Plan saat Mean kembali ke kantornya. Ia menjelaskan semuanya dan Plan akhirnya paham tentang langkah Mean melakukan semuanya. Jawabannya hanya satu, yaitu tanggung jawab. Lagipula tak mungkin ada cinta di antara mereka. Itu sebuah hal yang mustahil.
Mean memutuskan Dream dan kemudian menikahi Plan. Ia membawa Plan ke apartemennya dan menunjukkan tempat tidurnya dengan dirinya. Mereka tidur bersama, tapi seperti dua orang asing yang dikurung dalam sebuah kamar. Saat Mean datang ke kamar, ia akan dengan cepat memejamkan matanya berpura-pura tidur. Ia sadar Mean akan mengusap perutnya yang besar sambil berceloteh kepada kedua anaknya.
Plan memang memasak untuk Mean, khususnya sarapan dan makan malam. Ia juga membersihkan apartemen dan mencuci baju Mean. Ia bersikap seperti istri Mean, kecuali di ranjang tentunya. Mean juga menyediakan semua keperluan dirinya. Ia bahkan membelikan baju dan pakaian dalam Plan. Mean tahu benar ukurannya.
Plan tentu saja kebingungan dan kewalahan dengan semuanya. Ini bagaimana? Ia merasa semuanya serba cepat dan terlalu dipaksakan. Mean bahkan sudah mengganti dokter kehamilan Plan di rumah sakit yang lebih besar dan juga mengatur waktu pemeriksaannya.
Plan bahkan diminta keluar dari pekerjaannya dan tinggal di apartemennya dengan Mean dan mempersiapkan kelahirannya yang hanya tinggal tiga bulan. Sungguh Plan kewalahan dibuatnya!
Setiap kali, ia ingin membicarakan pikirannya dengan Mean, Mean selalu dengan cepat mengalihkannya dan membuatnya tak bisa lagi berkata apa-apa.
Namun, pada akhirnya, pada suatu malam, ia mendapatkan kesempatan itu. Ia memberanikan dirinya untuk meminta waktu kepada Mean dan membicarakan semuanya dengan tuntas.
"Ada apa?" tanya Mean. Ia duduk di hadapan Plan dengan wajah serius.
"Sebenarnya, aku bingung dengan semua yang kau lakukan kepadaku? Kenapa melakukan ini? Kenapa menikahi dan menjaga anak-anakku? Kenapa peduli kepadaku? Aku tahu pengacaramu sudah menjelaskan semuanya. Aku sangat berterina kasih karena kau bertanggung jawab atas bayi ini. Tapi, ini bukan kesalahanmu dan aku tak akan dan tak ingin menuntut apapun darimu. Kau tak perlu melakukannya. Dengan melakukan ini, kau tidak hanya membebani hidupmu, tapi juga membuatku semakin merada bersalah," nada Plan terdengar sangat sedih.
Mean diam dan mendengarkan. Ia tak menyela. Bibirnya mulai merekah tersenyum seolah mulai paham dengan pikiran Plan.
"Aku juga ingin tahu apa yang akan kita lakukan setelah bayi ini lahir? Apakah kau tahu bahwa aku sudah punya rencana tentang hidupku dan bayiku? Kenapa kau tiba-tiba datang dan membuat hidupku menjadi tak tentu seperti ini?" Plan mengutarakan semua isi hatinya.
"Aku minta maaf," sahut Mean.
Plan terhenyak. Ia bingung mengapa Mean meminta maaf kepadanya.
"Aku juga sudah berbuat salah kepadamu. Seharusnya malam itu, aku tak melakukannya kepadamu. Maafkan aku!" ujar Mean dengan lembut. Tatapannya mengandung rasa penyesalan.
"Tidak. Kau salah. Jika saja malam itu kau tak menyelamatkan aku, aku mungkin akan mengalami hal yang lebih buruk. Lebih baik menyerahkan diriku kepada seseorang yang baik daripada penjahat seperti mereka. Itu sangat mengerikan!" sahut Plan pelan dan ia mengepalkan tangannya lalu menundukkan kepalanya.