Aku meremas erat kertas yang kupegang hingga bisa membuatnya menjadi bubur kurasa. Mataku menatap lurus ke arah laki-laki berkulit putih yang duduk di balik kaca yang memisahkan kami berdua ini.
"Kau tuli? Aku bilang ulangi," ucapnya dingin, setelah aku terdiam beberapa detik dengan sorot mata tak suka padanya.
"Hah," kataku menghela nafas.
"Ulangi," ujarnya.
"Aku belum mulai."
"Nafasmu saja fales."
Mata kami kembali beradu. Rasa kesalku sudah sampai di ujung kepala rasanya, bayangan aku berhasil mencekik lehernya hingga dia berlutut minta ampun muncul di benakku.
Kapan aku bisa melakukannya? Bila kesempatan itu datang, aku akan benar-benar melakukannya dengan baik. Bahkan sampai dia kekurangan banyak nafas kalau perlu.
"Ya! Fokus," katanya menaikkan nada suaranya padaku.
"Baik soenbae-nim," jawabku sambil sekuat tenaga menarik kedua ujung bibirku agar mengulas senyuman untuknya. Yang lebar sekalian biar dia puas.
Aku kembali bersiap mengambil nada yang dia minta selama tiga puluh menit terakhir. Hari ini kami sebenarnya hanya akan merekam demo saja. Dia bilang, ingin tahu seberapa luas nada yang bisa kuambil.
Dia sebenarnya tidak memintaku datang, dia hanya meminta agensiku untuk mengirimkan contoh suaraku via e-mail padanya. Tapi entah setan apa yang merasuki para petinggi agensi, sampai mereka malah menawarkan agar aku datang dan merekamnya langsung.
Mereka bilang ini kesempatan kami agar bisa lebih dekat lagi. Kebetulan aku dan dia tidak memiliki jadwal untuk hari ini. Maka di sinilah aku berakhir. Di studio hitam nan gelap miliknya.
Di studionya, hanya ada Choi Yoongi dan seorang asisten yang berkerja dengannya selama ini. Tidak ada yang lain. Dan tidak sambutan atau kalimat hangat saat aku datang.
Sedangkan aku tentu saja hanya ditemani Kwan yang duduk manis di pojokkan studio sambil memeluk tas punggung hitam miliknya dengan mata gelisah. Aku bisa melihat dia bergerak tak nyaman merasakan betapa 'akurnya' kami berdua.
Aku melepas headphone setelah melakukan tugasku dan tidak ada lagi suara protes dari dia.
Meski wajahnya masih terlihat tidak puas atau lebih tepatnya tidak ada yang berubah dari raut wajah datar yang seakan sudah dicetak dengan semen di wajahnya hingga tidak bisa berubah lagi.
"Kau patung? Sudah pergi sana," ucapnya tanpa melihatku setelah aku berdiri selama lima menit di dekatnya.
Alisku terangkat satu begitu mendengarnya. Orang ini sungguh sudah bosan hidup rupanya.
"Kau bisa bilang sejak tadi."
"Kau tidak cepat mengerti juga rupanya. Lambat. Kalau sudah selesai artinya tidak ada lagi yang harus kau kerjakan dan itu berarti ... Pergilah sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tangled Red String (Complete)
Fiksi PenggemarRa-On bersumpah akan membunuh laki-laki yang sudah melukai harga dirinya sebagai penyanyi itu, dengan tangannya sendiri. Laki-laki dingin bermarga Choi yang selalu membuat kepala gadis itu mendidih. Semua semakin buruk saat dua orang ini diharuskan...