VI - ENAM

141 32 2
                                    

Seorang pembantu membukakan pintu rumah untuk Sehun. Tanpa basa-basi, Sehun melangkah melewati pintu setinggi tiga meter itu. Pembantu rumah membungkukkan badan untuk memberikan dan mengucapkan selamat datang.

Sehun tidak melirik sang pembantu. Melihat raut wajah sang anak majikan yang kusut, pembantu yang berusia sekitar empat puluhan tahun itu tidak menawari Sehun makan malam seperti biasanya. Ia menduga, suasana hati sang anak majikan tidak sedang dalam keadaan baik.

Begitu Sehun melewatinya, ia segera menutup pintu kembali. Sehun melewati ruang tamu rumahnya yang luas dan berniat menuju kamarnya di lantai dua. Baru saja ia menginjakkan kaki pada anak tangga pertama, sebuah suara bariton terdengar dari ruang makan yang terletak di sebelah kanan tangga.

"Makanlah dulu sebelum ke kamar."

Namun, Sehun pura-pura tak mendengarnya dan langsung menaiki tangga tanpa kehilangan ritme sedetik pun. Melihat sikap putranya itu, wajah sang ayah berubah merah seketika.

"Sehun! Oh Sehun!"

"Biarkan saja. Dia sudah bisa mengurus dirinya sendiri," ucap ibu Sehun yang duduk di depannya dengan tenang. Perempuan cantik dengan riasan tipis itu berbicara tanpa mengalihkan pandangan dari piring makannya.

"Anak itu selalu bersikap seenaknya sendiri," kata ayah Sehun sembari mendengus. Ia kembali duduk di kursinya. "Kenapa dia tidak juga bisa bersikap dewasa?"

"Tidak perlu menghabiskan tenaga kita untuknya. Ada banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan. Benar, kan? Bagaimana bisnismu? Kudengar perusahaan Hanjin sudah menandatangani kontrak kerja sama dengan perusahaanmu?"

Ibu Sehun menyendok sesuap nasi dan memasukkannya ke mulut dengan anggun. Ayah Sehun menghembuskan napas kesal. Amarahnya belum tuntas, tapi ia berusaha meredamnya. Meski begitu, dari nada suaranya masih dapat terdengar kekesalannya.

"Tentu saja, bisnisku sedang bagus-bagusnya. Kerja sama ini akan sangat menguntungkan perusahaanku."

Ibu Sehun mengangguk mendengarnya, lalu melahap sesendok nasi terakhir. Setelah itu, ia menenggak segelas air putih di hadapannya dan berdiri dari kursi.

"Ada shift malam?" tanya sang suami.

Perempuan yang ditanya tersenyum. Ia menata sendok dan garpu di atas piringnya ke arah pukul lima.

"Iya, aku berangkat dulu."

Sembari mengecup kedua pipi sang suami, ibu Sehun melambaikan tangan dan berlalu pergi. Sang suami melihat kepergian istrinya dengan tatapan mata datar. Ia dan istrinya memang jarang memiliki waktu bersama.

Ketika ia sibuk, istrinya punya sedikit waktu luang. Ketika ia punya sedikit waktu luang, istrinya tidak ada di rumah karena mengurusi pekerjaannya sebagai seorang dokter di sebuah rumah sakit besar.

Begitu punggung sang istri menghilang di balik pintu yang dibukakan oleh salah satu pembantu mereka, ayah Sehun berdiri dari meja makan dan berjalan masuk ke ruang kerjanya. Sebelum benar-benar menutup pintu, ia sempat melirik ke lantai dua.

***

Sehun melemparkan tas sekolah ke atas tempat tidur. Ia duduk di tepian ranjang sembari mengusap rambutnya ke belakang dengan frustrasi.

"Damn it!"

Sehun menendang meja di samping tempat tidurnya dengan keras. Meja itu bergeser beberapa sentimeter menjauh dari tubuh Sehun. Ia mengusap wajahnya berulang kali. Perasaannya sangat gelisah. Ia merasa, tidak ada yang berjalan dengan baik dalam hidupnya.

Kehidupannya seperti neraka yang dijalaninya sejak lahir, setahun belakangan terasa semakin menjadi-jadi. Jika dulu ada orang yang bisa dijadikannya sandaran, ada orang yang selalu ada untuknya kapan pun ia butuhkan, ada orang yang selalu bisa menenangkan dan memenangkan kewarasannya, kini orang itu sudah tidak ada lagi.

Vanila - SejeongxSehun [Ongoing]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang