Luna Aurora. Berdiri gagah menghadap gerbang sekolah impiannya sejak SMP. Sekolah negeri yang terkenal dengan ketatnya ujian masuk akhrinya semua bisa dia lalui dengan mudah. Gerbang hitam nan megah di tengahnya terdapat logo yang menjadi ciri khas SMA-nya itu. Dia berjalan dengan tegap, mengeratkan genggaman tangannya pada tali tas yang dia pakai, tanpa ketinggalan pula senyum manis terus terukir.
"Pagi, Pak," sapanya pada seorang satpam yang sedang berdiri di samping pos penjagaannya. Dengan senyum yang ramah dan penuh percaya diri. Pak satpam dengan bet yang tertempel di dada sebelah kanannya terbordir nama Agus itu membalas sapaan dari Luna.
"Pagi, Neng. Murid baru ya?" tanya Pak Agus dengan sedikit heran, pasalnya jarang sekali murid dari SMAN 1 Jakarta itu ada yang menyapanya.
"Hehe, iya, pak." Luna menjawabnya dengan terkekeh kecil dan juga sambil memeras kedua telapak tangannya karena gugup.
"Mari masuk, Neng. Namanya siapa, neng?"
"Luna Aurora, Pak. Bapak panggil Luna saja."
"Siap atuh, Neng Luna," kata pak Agus dengan mengacungkan kedua ibu jarinya ke hadapan Luna. "Kalo bapak, namanya pak Agus."
"Udah tau, Pak," balas Luna dengan tertawa kecil. Dalam pemikirannya, mungkin pak Agus bisa jadi temannya kalo dia tidak mendapatkan teman di kelas. Pak Agus juga orangnya lucu dengan badan yang sedikit tambun dan wajah yang terlihat galak, tapi ternyata orangnya asik diajak ngobrol.
"Tau dari mana? Kan bapak belum ngasih tau."
"Itu di baju bapak. Udah tertera nama AGUS," jawabnya dengan menunjuk ke arah dada kanan pak Agus serta mengeja namanya.
"Oh iya, lupa." Pak Agus menepuk jidatnya sambil tertawa di hadapan Luna.
"Hehehe, kalo gitu Luna masuk dulu yaa, pak. Takut gak dapet kursi," pamitnya yang direspon dengan anggukan kepala dari pak Agus.
Luna kembali melangkahkan kakinya untuk masuk lebih dalam. Netranya berkeliaran menatap dan menghafalkan inci demi inci letak dari sekolah barunya itu.
Semakin masuk lebih dalam lagi, semakin banyak mata yang memandangnya. Luna tak menghiraukannya, dia terus berjalan mencari kelasnya. Lorong demi lorong dia lewati sambil mendongakkan kepala di depan pintu yang dia sambangi.
Sudah 10 menit dia mencari kelasnya, tetapi tak kunjung ketemu. Dia sudah lelah untuk mencari, akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya pada seseorang yang tak dikenalnya.
"Maaf, Kak. Mau tanya, kelas X IPA 3 di mana, yaa, kak?" tanyanya pada seorang gadis dengan rambut sebahu berwarna sedikit coklat dibagian ujungnya.
"Oh, kamu murid baru ya? Kelas X IPA 3 juga?" Luna hanya merespon dengan anggukan kecil dan seulas senyum tipis. "Yuk, kita barengan aja ke kelasnya. Kebetulan aku juga dapet kelas X IPA 3. Eh, btw, nama Lo siapa?"
"N-namaku l-luna," jawabnya dengan sedikit terbata karena canggung.
"Gak usah kaku dan canggung gitu juga kali. Santai aja sama gue. Gue gak gigit kok," ujar gadis itu dengan tertawa ringan. Sambil berjalan untuk mencari kelasnya, mereka mencoba untuk mengakrabkan dirinya. "Btw, nama gue Kiki. Lo dari SMP mana?"
"Gue dari SMP Negeri 102. Kalo Lo?" tanya Luna dengan lancar.
L Tak ada lagi kecanggungan diantara mereka berdua."Wuih, pintar juga ya, Lo. Gue sih dari SMP swasta dekat sini."
"Gak juga, lah." Luna menjawabnya dengan sedikit malu kerena dikatain sebagai murid yang pintar.
Tanpa terasa, perjalanannya menuju kelas sudah berakhir. Kini mereka berdua telah sampai di depan sebuah pintu bercat coklat dengan air mancur serta pohon jambu berada di depan kelas tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Rival
Teen FictionLuna, gadis manis berotak cerdas yang tidak pernah bisa mendapatkan teman yang bisa dijadikannya sebagai seorang sahabat selama 9 tahun bersekolah. Namun, di tahun ke-10, Luna baru bisa mendapatkan seorang sahabat. Hari-harinya di sekolah pun beran...