Berpisah Dulu

9.4K 307 9
                                    

Bismillah,

Alfi melangkah gontai, sembari memasang kancing di lengan kemejanya. Dengan lesu dia menghempaskan tubuh tingginya di kursi makan. Matanya menatap kosong ke arah jendela yang menyajikan pemandangan taman kecil. Pohon mangga yang sedang berbunga, dan bermacam tanaman yang dirawat Mamanya tersaji apik. Tapi sepertinya Alfi sama sekali tidak terhibur, lelaki itu malah menopangkan satu tangannya ke dagu.

"Al, ini loh, kopinya. Udah Mama buatkan, cepet diminum mumpung masih panas," kata Hasti -Ibunya Alfi-.

"Ya, Ma," Alfi membalas tanpa semangat.

"Kamu mau sarapan nasi goreng juga? sama kaya Azwar?"

"Nggak, Ma, Alfi minum kopi aja," jawabnya. Tangan kanannya memutar-mutar cangkir kopi bercorak bunga, sedangkan tangan kirinya masih bertopang dagu.

Tanpa sengaja mata Alfi menatap kalender yang tergantung di ruang makan itu, dia sedikit terkesiap, ternyata sudah 2 minggu dia dan Naira -istrinya- berpisah. Naira meminta mereka untuk saling merenung dan introspeksi, setelah selama hampir 6 bulan rumah tangga mereka mulai tidak tenang.

Alfi memejamkan matanya dengan lelah, benaknya tiba-tiba saja memutar pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi.

Flashback on

"Mas, aku sudah dapet sertifikat IELTS, nilainya sudah 6,5. Minggu depan sudah mulai dibuka lagi pendaftaran beasiswa, Mas Alfi gimana? Udah nyiapin persyaratan seperti yang aku suruh?" kata Nai, perempuan bergaun hitam itu membuka email, menunjukkan attachment dari sebuah lembaga kursus Bahasa Inggris di Surabaya.

Alfi mengangkat cangkir kopinya, setelah sebelumnya melirik sekilas sertifikat itu. Mereka sedang sarapan, bersiap-siap untuk berangkat bekerja.

"Mas, kok nggak ditanggapin, sih. Berasa ngomong sama tembok jadinya," Nai mencebik, lalu menarik gawainya dengan kasar.

"Nai, aku kan sudah bilang, aku nggak bisa studi di luar negri. Aku nggak bisa ninggalin Mama dengan kondisi penyakit jantungnya yang sering kambuh, Nai," Alfi menjelaskan dengan lembut. Dia tahu bagaimana sifat keras kepala Nai, istrinya itu tidak gampang mengalah.

"Trus aku harus mengorbankan cita-citaku gitu?! Demi apa, Mas?!" Nai meradang, wajahnya yang tadi terlihat senang berubah tegang. Perempuan cantik itu menatap suaminya dengan gusar.

"Selama ini aku udah ngikutin Mas Alfi, inget nggak, Mas, tahun kemarin aku sudah lolos beasiswa tahap 1. Tapi aku batalin, karena apa?! Karena Mas Alfi ngelarang aku pergi! Apa sekarang aku harus batalin lagi?! Aku berjuang untuk ini, Mas. masak kamu nggak ngerti sih?!" Nai mulai berteriak, wajahnya memerah.

Alfi diam, belum menemukan cara untuk menanggapi Nai dengan emosinya yang seringkali naik dan turun tanpa aba-aba. Lelaki itu menatap istrinya dengan mata bersinar lembut.

"Nai, tenang dulu," bujuknya. Lelaki itu bangkit, mengambilkan segelas air. Lalu dengan lembut mengulurkannya pada Naira yang terlihat bernafas tersengal.

"Minum, nih. Istighfar dulu, kalo kamu udah tenang baru kita bicara," Alfi melanjutkan. Dia duduk tepat di samping Nai yang kini melengos. Perempuan itu melipat kedua tangannya di depan dada, menolak gelas yang disodorkan Alfi.

"Kamu harus tenangin  dulu diri kamu,Nai, kita nggak bisa mulai kerja dengan kondisi kaya gini," kata Alfi, tangannya kembali terulur, mencoba membujuk Nai untuk minum.

"Aku nggak mau!" Tangan Nai menepis gelas, benda itu jatuh dan membentur lantai, pecah berkeping. Airnya membasahi kemeja Alfi, lelaki yang tadinya terlihat tenang itu, mulai gelisah. Tanda-tanda percekcokan membuat benaknya lelah seketika.

Bukan UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang