Mean dan Pkan masih sering berkabar melalui line. Mean bilang ia sangat kaget dengan semua kehidupan Plan yang dia pikir hanya ada di dongeng-dongeng. Plan hanya tertawa dan memberi emoticon tersenyum saja. Namun, meskipun demikian, Mean bahagia karena lebih kenal Plan meski hanya lewat line.
Memang ia membaca sebuah berita yang menjadi headline di banyak surat kabar dan media tentang pertunangan Plan dengan anak pengusaha terkenal yang bernama Blue Pongtiwat. Padahal, mereka masih SMA.
Hari itu upacara kelulusan SMA, serempak diadakan oleh semua sekolah pastinya di Thailand, termasuk sekolah Mean dan Plan juga. Plan mengajak Mean bertemu untuk terakhir kalinya. Ia bilang ia akan pergi ke Inggris melanjutkan sekolahnya di sana.
Mean menyetujui. Mereka makan malam bersama di sebuah kafe dan seusai makan malam mereka berjalan-jalan di sekitar taman.
Mereka memutuskan duduk di bangku taman."Aku punya hadiah untukmu," ujar Plan. Ia memberikan sebuah boks kecil kepada Mean. Mean menerimanya dan berterima kasih.
"Kau tak perlu melakukannya," ujar Mean.
"Aku malu. Aku tak memberimu apa-apa," sahut Mean lagim
"Tidak apa-apa. Ini hadiah persahabatan dariku. Terima kasih karena sudah menjadi temanku, aku bahagia," sahut Plan sambil tersenyum.
"Tidak. seharusnya aku yang berterima kasih kepadamu. Tapu, aku tak mempersiapkan apa-apa hari ini. Kapan kau pergi? Aku bisa memberikan sesuatu sebelum kau pergi," ujar Mean dengan nada yang sedih.
"Tidak perlu. Aku bahagia kau berpikir itu untukku. Terima kasih. Semoga hubunganmu langgeng dengan Jane dan semoga kau selalu bahagia," sahut Plan sambil menatap Mean.
"Terima kasih. Kau juga. Semoga kau bahagia," ujar Mean.
"Boleh aku buka kadonya?" tanya Mean lagi.
"Iya, tentu saja," sahut Plan. Mean membukanya. Itu sebuah kalung dengan liontin bunga lotus.
"Bagus sekali!" sahut Mean sambil mengeluarkannya dan mengamatinya.
"Aku suka," ujar Mean lagi sambil menatap Plan. Plan menganggukkan kepalanya seraya tersenyum.
"Kupasangkan," sahut Plan. Mean menganggukkan kepalanya. Ia memberikan kalung itu kepada Mean. Plan memasangnya dan ia menatap kalung di leher Mean sambil tersenyum.
"Kau tampan sekali!" sahut Plan sambil tersenyum.
"Kau juga cantik," ujar Mean.
Plan tersenyum lagi.
"Baiklah. Kurasa sudah waktunya aku pulang. Sudah malam," ujar Plan. Ia berdiri.
"Phi Gem menjemputmu?" tanya Mean sambil beranjak. Mereka berdiri berhadapan.
"Tidak, aku pulang naik taksi," ujar Plan.
"Ah, begitu," ujar Mean. Kedua wajah tampak sangat sedih tapi sama-sama memaksakan diri memasang ekspresi wajah bahagia.
Mereka berjalan menuju jalan dan saat taksi berhenti di depan mereka, mereka langsung naik. Mean dan Plan duduk bersebelahan di belakang. Tangan Mean dan tangan Plan juga bersebelahan. Mata Mean beberapa kali bergulir ke tangan Plan. Dan setelah beberapa saat, tetiba tangan Mean memegang tangan Plan dan itu membuat Plan kaget. Ia menatap Mean dan Mean dengan mantap berkata kepada sopir taksi untuk mengubah arah ke rumahnya.
Plan masih dengan ekspresi yang kaget, tapi ia tak menolak apapun yang dilakukan Mean kepadanya. Taksi berhenti di sebuah rumah sederhana. Mean keluar dengan menuntun Plan setelah membayar. Ia berjalan tergesa ke dalam rumah dan membawa ke lantai dua memasuki kamarnya. Lalu ia mendudukkan Plab di tepi ranjang. Mean membuka lemarinya. Ia mengambil sebuah kotak dan mengeluarkan kotak itu dan mata Plan membelalak.
Di dalam kotak itu terdapat sebuah cincin emas untuk perempuan dengan mata cincin berwarna hijau.
Mean mengeluarkan cincin itu dan memakaikannya di jari Plan. Plan diam dan hanya melihat Mean yang tersenyum kepadanya.
"Tolong pakai ini dan jangan lepaskan, na! Ingat aku selalu, na! Aku tahu kau sudah bertunangan dan cincin dari kekasihmu itu pasti lebih baik dan ma....mmmmmph!" Mean tidak melanjutkan bicaranya sebab Plan mencium bibirnya. Setelah beberapa saat, Plan melepaskan kecupannya.
"Terima kasih, hadiahnya. Ini indah sekali. Apapun yang terjadi, aku tak akan melepaskannya," ujar Plan sambil tersenyum dan matanya indah berbinar.
"Plan," lirih Mean.
Mereka bertatapan sambil tersenyum. tangan Mean menempel di wajah Plan dan perlahan wajah Mean mendekati wajah Plan. Plan paham dengan yang akan dilakukan Mean. Ia kemudian memejamkna matanya dan membiarkan bibir mereka bergamitan mesra.
Mereka berciuman cukup lama dan kemudian melanjutkannya dengan bercumbu sampai akhirnya malam itu mereka bercinta.
"Meaaan, nnnnngh, aaaah, aaah, hmmmm, astagaaa! Pelan-pelan!" desah Plan sambil agak meringis. Itu pertama kalinya untuk Plan, meski babak mereka sudah mencapai tiga.
"Maafkan aku!" lirih Mean dan ia memelankan pace goyangannya.
"Kau cantik sekali! Tubuhmu harum sekali! Kau membuatku tak bisa berhenti," racau Mean. Saat itu mereka tengah bercinta babak keempat.
Kali ini hanya lenguhan kenikmatan. Plan sudah bisa menikmati dan mengimbangi permainan Mean dan ini semakin membuat Mean gila.
"Oooo, aaaah, nnnngh, mmmph," desah keduanya. Dan tak lama kemudian mereka sama-sama mencapai puncak kenikmatan.
Mereka tidur berpelukan. Mean membuka matanya saat pagi menjelang. Masih pukul lima pagi sebenarnya. Dan ia mengamati Plan yang tengah tidur. Plan membuka matanya perlahan dan Mean tengah mengamati dirinya dengan senyuman di bibirnya.
"Selamat pagi," bisik Plan sambil tersenyum malu.
"Selamat pagi," bisik Mean. Ia mendekatkan wajahnya dan mereka berciuman lagi. Mereka berciuman lama sekali. Dan tak perlu waktu lama bagi Mean untuk menaiki Plan dan menikmati dirinya lagi.
"Selamat tinggal!" ujar Plan saat mereka berpisah di depan rumah Plan.
"Selamat tinggal," sahut Mean.
Keduanya berpelukan dan berciuman mesra. Tapi keduanya tak sekalipun mengucapkan kata cinta.
Hari itu adalah hari terakhir Mean dan Plan bertemu dan berbicara.
Bersambung