Last day

305 62 6
                                    

"Kamu bilang akan membawa ku ke tempat bermain sekali lagi, kenapa sekarang kita malah ke pantai? Dan untuk hutang date di restoran bintang lima itu—"

"Sudah, diamlah dulu! Suaramu membuat kepalaku pusing. Dan untuk masalah date itu, kita bisa melakukannya lain kali." Kataku memotong ucapan Irene buru-buru saat kulihat dia ingin protes.

"Tapi aku ingin pergi kencan denganmu, Seungwaaaaan." Rengeknya lagi.

Aku hanya tertawa. Menarik Irene menghampiri truk makanan yang menjual hot dog—tidak jauh dari pinggir pantai yang beberapa menit lalu kita susuri.

Aku memesan dua hot dog ukuran besar karena aku merasa sangat lapar setelah belajar seharian. Sambil menunggu, kita berdua duduk di bangku yang disediakan. Membiarkan deru ombak mengisi keheningan, tidak mencoba mengajak Irene mengobrol, tidak seperti biasanya, karena ada hal yang sedang aku pikirkan sekarang.

Alasan aku tidak membawa Irene ke tempat yang sebelumnya aku janjikan adalah karena aku tidak ingin menjadikannya bahan tontonan orang-orang.

Kemarin, berita tentang putusan atas kasus yang menjerat ayah Irene keluar dan aku tidak bisa merasa tenang barang sebentar saja sejak tadi pagi. Ada lebih banyak anak yang menghindari Irene akhir-akhir ini—terutama hari ini—semua orang seolah berkerja sama untuk tidak menghiraukan Irene. Itu sebenarnya masih lebih baik daripada sebagian siswa lain yang dengan terang-terangan menyudutkan Irene dan menamparnya dengan kalimat kejam tepat didepan wajahnya.

Aku masih tidak mengerti bagaimana mereka bisa membenarkan perbuatan tersebut hanya karena fakta bahwa Irene berbagi darah dengan orang itu. Orang yang sudah merugikan satu negara hanya karena sifat serakahnya—Kongres Bae.

Irene bahkan tidak tahu apa-apa. Dia hanyalah korban dari dosa yang diperbuat keluarganya.

Kurasa, membawa dia ke tempat tenang seperti ini merupakan keputusan yang tepat. Apalagi, sebentar lagi malam, jadi kita bisa menyaksikan sunset berdua untuk yang terakhir kalinya.

"Jadi, kamu pindah ke sekolah mana?"

"Aku lupa namanya. Kenapa kamu ingin tahu?"

Aku tersenyum, "hanya penasaran. Siapa tahu kan kapan-kapan aku bisa menjengukmu kesana." Kataku sambil menggaruk kepala canggung.

Pesanan kita sudah selesai dibuat, jadi ku ajak lagi Irene berjalan mendekati bibir pantai dan duduk bersisian di dekat ombak yang nyaris menyentuh kaki.

"Kamu bilang ada sesuatu yang ingin kamu katakan? Apa?" Irene bertanya tanpa menoleh sedikitpun. Dia sibuk melahap makanannya dan aku tidak bisa tidak memperhatikan tingkah lucunya—seolah dia belum diberi makan selama seminggu.

Aku sangat salut pada Irene yang bahkan masih mencoba terlihat kuat meski aku tahu dia tidak baik-baik saja. Well, aku akan memastikan dia tetap baik-baik saja meski hanya untuk hari ini.

"Kamu belum makan siang?"

"TENTU SAJA BELUM! Aku mau pesan lagi, hehe. Tunggu disini ya." Irene hendak berdiri tapi aku sudah keburu menahan lengannya.

"Ini, makanlah. Biar aku yang pesan. Sepertinya kamu memang sedang sangat kelaparan." Kataku sambil menggelengkan kepala.

Kulihat Irene hanya nyengir, dan kalau bukan karena perutku yang berbunyi, mungkin sudah kuacak rambutnya dengan gemas.

Tidak lama, aku sudah kembali duduk disamping Irene untuk mengobrol tentang banyak hal. Tentang kepindahannya yang ternyata bukan gosip, tentang rencana hidupnya dan hidupku, tentang hal konyol yang kita lakukan selama seharian ini di sekolah—termasuk mengerjai murid-murid sialan itu dan juga seorang guru yang pernah melukai perasaan gadis disamping ku ini—dan tentang apapun yang melintas di kepala. Apapun selain masalah keluarganya.

Pain KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang