Bel tanda istirahat sudah berteriak nyaring sejak beberapa menit yang lalu, namun Rachel tidak jua beranjak dari tempat duduknya sebagaimana biasa. Ia menenggelamkan sebagian kepalanya di antara lipatan tangan yang dijadikan sebagai bantal. Benaknya dipenuhi bayangan Erick yang tidak pernah bisa dihubungi lagi hingga sekarang.
Apakah Erick telah mengganti nomor seluler? Benarkah dugaannya bahwa Erick pindah sekolah untuk memenuhi janji ketika di rumah sakit? Rachel melepaskan kacamata yang dikenakannya, diletakkan begitu saja di atas meja.
Semenjak pulang dari rumah sakit kemarin, Rachel baru menyadari kalau memang benar alat bantu penglihatan yang selama ini dipakai olehnya adalah pemberian Erick. Tidak mungkin Arnold tahu persis kacamata seperti apa yang tepat untuknya, apalagi ada satu tanda khusus yang hanya diketahui apa artinya bersama Erick terukir di salah satu gagangnya.
"Terima kasih karena sudah memberi kesempatan untuk saling bicara. Setelah ini, aku tidak akan pernah mengganggumu lagi. Tidak akan pernah. You have my words." Rachel mengembuskan nafasnya kasar, frustasi karena kalimat terakhir Erick ketika mereka saling bicara di rumah sakit, memenuhi kepalanya dan terus terulang layaknya sebuah lagu yang selalu di-repeat.
Sejenak Rachel mengangkat kepala, mengulurkan tangan dan mengeluarkan benda persegi merk ternama dari salah satu laci tasnya. Jari-jarinya bergerak menekan dan menggeser beberapa kali di layar datar benda pipih tersebut, lalu menempelkannya di telinga.
"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi. The number you're calling is not active or out of reach area. Please try again in a few minutes."
"Kamu ke mana sih, Rick. Kenapa pula nomor handphonemu malah tak aktif hingga berhari-hari." Rachel mendesah kecewa.
Sudah berulangkali ia mencoba menelpon Erick, namun hanya kalimat panjang operator penyedia layanan telekomunikasi itulah yang selalu didengarnya. Semenjak mendengar penuturan Arnold tentang kacamata pemberian Erick kemarin, sudah tak terhitung berapa kali Rachel berusaha menelpon, namun tiada pernah tersambung.
Rachel memegang kacamata yang dikira pemberian Arnold dengan penuh rasa bersalah pada sosok Erick. Kedua bola matanya mulai menghangat, apalagi mengingat semua perilakunya selama hampir setahun ini padanya.
"Lepaskan, aku bisa jalan sendiri!"
"Kamu tidak tuli, kan? Aku baik-baik saja dan ingin pergi sendiri. Mungkin penglihatanmu saja yang kurang baik. Dengan sangat hormat, tolong biarkan aku sendiri!"
"Satu hal lagi. Jangan sok peduli karena aku tidak butuh rasa pedulimu!"
"Pergilah sejauh mungkin, Rick. Aku muak dan benci melihatmu!!"
"Jangan ganggu aku, Rick. Aku lelah dan ingin sendiri!"
"Aku benci kamu, Rick!"
"Tak bisakah kau mengerti? Telingamu masih sehat, kan?! Tolong pergi, kehadiranmu membuatku muak!"
"Kenapa kamu tidak mati saja?"
Beberapa kalimat tajam yang pernah diutarakan pada Erick tiba-tiba memenuhi pikiran Rachel, membuat perasaannya semakin nelangsa.
"Maafkan aku Rick. Maaf untuk berbagai ucapan dan perlakuan yang buruk padamu. Aku ..." Rachel terisak pelan, menyesal karena menganggap segala sesuatu yang pernah dilakukan dan diberikan oleh Erick untuknya dianggap sebagai hal yang mengganggu setelah mengenal Arnold.
Rachel mengelap air matanya yang nyaris bergulir turun dengan selembar tissue. Jari-jari tangannya menari-nari di atas layar datar alat komunikasi miliknya, mencari sesuatu. Sesaat kemudian, sorot matanya hampa menatap sebuah foto di gallery yang menampilkan pose bersama Erick ketika merayakan ulang tahunnya dua tahun yang lalu. Memegang satu paket edisi terbatas novel Cinta Empat Musim karya Ilana Tan yang dibelikan oleh Erick untuknya sebagai hadiah ulang tahun.
Kado yang istimewa dan tentu saja mahal, termasuk entah bagaimana caranya Erick bisa membeli paket special tersebut. Padahal sangat sulit, walaupun hanya sekedar mendapat salah satu saja novel Cinta Empat Musim tersebut. Summer in Seoul, Autum in Paris, Winter in Tokyo dan Spring in London memang menjadi barang langka dan esklusif.
"Temani aku keluar sebentar ya, aku butuh bantuan kamu," ajak Erick setelah Rachel keluar kamar dengan tampilan sudah rapi dan fresh.
"Ke mana?"
"Kamu akan tahu nanti." Erick tersenyum dan menggapai tangan Rachel lalu mengajaknya pergi.
Erick mengajak Rachel untuk menemaninya mencari novel. Dengan senang hati Rachel menyetujui ajakan Erick, ia butuh suasana baru untuk memperbaiki moodnya yang jelek sejak waktu istirahat di sekolah tadi.
Rachel melangkah mengikuti Erick dari belakang, menuju ke rak yang berisi novel-novel best seller. Karena tidak juga menemukan novel yang dicari, Erick mengambil sebuah buku yang berjudul 'Ketika Cinta Bertasbih episode 2' karya Habiburrahman El Shirazy, salah satu karya yang termasuk dalam novel best seller di Asia Tenggara.
"Kita beli yang ini saja, ya," kata Erick sambil menyodorkan novel yang dipilihnya kepada Rachel.
"Tapi aku ingin Cinta Empat Musim-nya Ilana Tan, Rick. Walaupun cuma salah satunya, itu sudah cukup. Yang lainnya bisa dicari nanti. Selama ini selalu meminjam, itu pun mesti berebut dengan teman lain yang juga pengen baca. Aku sudah membaca yang edisi pertama dan kedua, Winter in Tokyo dan Spring in London belum. Sayangnya dari semua toko buku di kota ini, semuanya sudah habis terjual. Kita selalu datang terlambat," keluh Rachel.
"Tak ada salahnya kamu membaca yang ini, Chel. Kisahnya juga bagus kok, menurutku sama menariknya seperti Cinta Empat Musim-nya Ilana Tan," kata Erick meyakinkan Rachel.
"Sudah membacanya?" Pemilik wajah manis berlesung pipi itu bertanya antusias.
"Novel ini terdiri dari dua bagian, aku baru membaca yang edisi pertama jadi belum tahu endingnya bagaimana. Aku menyukai sifat pantang menyerah dari tokoh utama bernama Khairul Azzam, salah satu mahasiswa asal Indonesia yang bertahan hidup di kota Alexandria dengan berbisnis tempe dan bakso. Azzam dan Furqan, sahabatnya mencintai seorang gadis yang sama, Anna Althafunnisa, putri Pak Kiai Luffi Hakim. Azzam yang harus rela mengubur cintanya karena Furqan sudah mengkhitbah Anna duluan." Komentar Erick yang cukup panjang membuat wajah Rachel berubah ceria.
"Mendengar komentarmu aku jadi tertarik. Aku beli yang edisi pertama, nanti pinjam yang edisi dua punya kamu, ya. Ayo kita ke kasir," ajak Rachel dengan senyum cerah.
Setelah membayar buku yang mereka beli, Erick dan Rachel tak langsung pulang. Keduanya terlebih dahulu mampir ke salah satu tenda yang menjajakan makanan tradisional yang letaknya di seberang toko buku.
"Nih, buat kamu." Erick duduk di samping Rachel lalu menyodorkan satu porsi makanan tradisional yang lebih dikenal dengan sebutan sup ubi.
"Makasih, ya." Rachel tersenyum manis menerima mangkuk berukuran sedang dengan uap panas yang masih mengepul.
Keduanya menikmati makanan yang terhidang dalam diam. Erick memang sengaja mengajak Rachel menemaninya sore ini karena terlihat jelas kalau sosok cantik berlesung pipi itu sedang mengalami masalah. Ingin bertanya sekarang, tapi ia khawatir jika nanti malah menghilangkan nafsu makan gadis itu.
To be continued..
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Ulang Tahun
Teen Fiction"Finally, I understand what true love meant.. You care for another person's happiness more than your own, no matter how painful the choices you face might be.."