Tiga

10 5 0
                                    

Di tengah upacara yang sedang berlangsung dengan khidmat.

Bruk!

Tiba-tiba Kiki ambruk di tengah jalannya upacara. Luna yang panik segera keluar dari barisan dan memanggil petugas PMR yang berjaga di belakang barisan untuk segera memberikan pertolongan.

Luna kembali bersama dengan empat orang siswi dengan sehelai kain berwarna kuning yang menggantung di leher mereka.

"Kamu di sini aja. Ikutin jalannya upacara lagi, ya," kata seorang siswi yang berambut panjang daripada ketiganya.

"Tapi, Kak. Temannya gimana? Aku mau ikut jagain dia," mohon Luna dengan gelisah.

"Tidak apa-apa. Nanti kalo upacaranya sudah selesai, kamu bisa jenguk dia di UKS. Sudah ya, kita bawa temen kamu dulu untuk dapat pertolongan pertamanya."

"Baik, Kak."

****

Upacara telah selesai, Luna kembali lagi ke kelasnya tanpa Kiki. Dia berjalan dengan terburu-buru untuk segera sampai di kelasnya. Duduk. Diam. Melamun. Entah apa yang sedang dipikirkannya, namun hal itu sungguh menarik pikirannya. Gelisah yang berlebihan, sampai hal gaduh terjadi di sekitarnya. Namun, Luna masih tetap dalam pemikirannya.

Di sisi lain, Kiki sedang beristirahat di UKS setelah di beri pertolongan pertama oleh keempat siswi tadi.

"Kenapa dia belum bangun-bangun juga?" tanya Gina—siswi PMR berambut panjang—kepada temannya. "Ini udah lebih dari 30 menit. Apa .... Cepat Lo panggil Bu Dev." Kepanikan melanda satu ruangan berwarna putih dengan tiga ranjang. Teman yang ditunjuk segera berlari keluar memanggil Bu Dev selaku pembina organisasi tersebut.

Tuk! Tuk! Tuk!

Suara sepatu beradu cepat dengan lantai. Pintu dibuka dengan terburu-buru. "Kenapa, Gin?" Wajah wanita paruh baya tersebut menampilkan keresahan.

"Ini, Bu. Dia pingsan dari setengah jam yang lalu, sampai sekarang belum juga bangun. Gimana ini, Bu?" tanya Gina dengan panik.

"Tenang, dulu. Kamu udah beri dia pertolongan pertamanya, 'Kan?" Bu Dev segera mengambil alih posisi Gina. Beliau kembali mengecek kondisi korban sekali lagi.

"Kita tunggu 5 menit lagi. Kalo belum bangun juga, kamu telfon dokter yang biasa jaga di sini."

****

"Selamat pagi!" Suara tegas nan ramah terdengar dari arah pintu kelas X IPA 3, mampu mengehentikan segala aktivitas yang dilakukan oleh semua murid tak terkecuali Luna. Dia memandang sosok wanita paruh baya yang masih terlihat muda itu penuh dengan pertanyaan. Apakah dia wali kelas dari X IPA 3?

"Kok gak dijawab? Ibu ulang lagi, ya." Ibu itu berjalan ke arah tengah kelas setelah sebelumnya meletakkan buku di atas mejanya.

"Selamat pagi!" ulangnya dengan ramah dan semangat.

"Pagi, Bu."

"Udah ada yang kenal sama ibu, belum?"

"Belum, Bu," jawab murid IPA 3 dengan kompak dan serempak.

"Mau kenalan?"

"Mau."

Luna hanya ikut menyimak kegiatan yang sedang berlangsung di dalam kelas. Tak ada semangat untuk ikut berpartisipasi. Namun, Luna tahu dengan apa yang dia lakukan sekarang, pasti, akan membuatnya sulit untuk mencari teman.

"Oke, perkenalkan, nama ibu adalah Monica Rahma. Kalian bisa panggil ibu dengan Bu Monic atau Bu Rahma tapi, guru di sini ada juga yang namanya Rahma. Jadi lebih baik kalian panggil ibu dengan Bu Monic, ya," jelasnya. "Di sini, ibu adalah wali kelas kalian. Jadi, ketika ada masalah atau ada apa-apa di sekolah, orang pertama yang harus kalian kasih tahu adalah saya. Sampai sini paham?"

"Paham, Bu." Hanya sebagian murid yang menjawab yang lainnya hanya menganggukan kepalanya.

"Berhubung hari ini adalah hari pertama kita bertemu, pasti kalian belum pada kenal, kan? Bagaimana kalo kita kenalan dulu, habis itu kita adakan pembuatan struktur organisasi kelasnya, gimana?"

"Oke."

"Mulai dari paling depan, ya. Dari ujung sana." Bu Monic menunjuk pada meja depan dekat pintu kelas yang artinya bagian Luna berkenalan hanya menghitung orang saja.

Orang pertama sudah mulai berkenalan dan sekarang sudah tinggal 3 orang lagi untuk gilirannya.

"Kamu," tunjuk Bu Monic ke arah Luna,  "silakan perkenalkan diri kamu," lanjutnya.

Luna berdiri dari duduknya, menghirup oksigen untuk membawanya serileks mungkin. "Em, nama saya, Luna Aurora. Biasa di panggil Luna."

Dia kemudian duduk kembali dan lagi-lagi menghirup oksigen. Sesi perkenalan pun dilanjutkan hingga selesai. Setelah selesai, segera Bu Monic meminta untuk melakukan pembuatan struktur organisasi kelas.

"Adakah yang ingin sukarelawan menjadi ketua kelas?"

"...."

"Halooo, adakah yang berminat? Apa ibu tunjuk saja?"

"...."

"Serius ini?"

"Saya, Bu." Sebuah suara muncul dalam keheningan yang menyelamatkan seluruh murid agar tak jadi incaran dari Bu Monic. Semua merasa tegang, tapi setelah suara itu muncul, helaan nafas keluar.

"Oke, Arsya, ya." Bu Monic melangkah mengambil spidol dan menuliskan nama Arsya di papan tulis dengan deskripsi 'ketua kelas' di samping namanya.

"Wakil ketua, ada yang berminat?" lanjut Bu Monic.

"Saya, Bu."

"Oke, Alan," putusnya dengan kembali menuliskannya pada papan tulis. "Kalo kayak gini, kan, enak. Bisa cepet selesai. Lanjut, sekretaris, ada yang berminat?"

"...."

"Halo, ciwiinya mana nih? Gak ada yang mau? Nanti ibu tunjuk loh."

"Cinta, Bu," seru salah seorang murid dari arah belakang Luna. Orang disebut namanya langsung mencubit lengan temannya.

"Cinta, mau, ya?" Cinta hanya bisa pasrah, dia menganggukan kepalanya sebagai tanda setuju.

"Bendahara?"

"Dina, Bu." Hal serupa terjadi lagi pada Dina. Dia hanya mengangguk sebagai tanda setuju.

"Bagus! Struktur organisasi kelas sudah kita buat. Semoga kalian yang menjadi pengurus kelas, mampu menjalankan tugasnya dengan baik dan buat para temen-temen semua juga harus jadi anggota yang baik, ya."

"Siap, Bu."

Suasana kelas itu tak setegang pertama kali masuk. Ketegangan itu sedikit demi sedikit mulai mencair. Bu Monic pun melanjutkan pembahasan mengenai jadwal dan lain-lain kepada murid dalam kelas tersebut.

****

My RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang