Lima

7 4 0
                                    

Hari pertama masuk sekolah menjadi hari yang dinantikan oleh semua murid. Pun sama dengan Luna. Hari ini adalah hari yang paling bahagia sepanjang hidupnya dalam menempuh sebuah pendidikan.

Gadis bermata hazel yang selalu ditutupinya dengan softlens hitam berdiameter besar tersebut menampilkan senyumnya pada sahabat barunya—Kiki—yang telah Sudi menganggapnya. Sahabat, semua orang dalam dunia ini mungkin menginginkan hadirnya sebuah persahabatan antara dirinya dengan orang lain. Sahabat, darinya kita juga bisa mendapatkan pengalaman yang berbeda dari setiap orang yang kita temui.

Mungkin dalam hidup kita sudah banyak sekali bertemu dengan berbagai karakter dan sifat orang. Namun, kita hanya melihat tampilan fisik dan menerka-nerka sifat mereka. Berbeda halnya dengan sahabat. Ketika kita bersahabat dengan seseorang, akan menimbulkan sesuatu yang tak kasat mata antara batin kita—ikatan batin—yang menjadikan kita selalu mengerti kondisi sahabat kita, hanya dilihat dari ekspresi wajahnya. Bukankah itu menarik? Hanya dengan melihat ekspresi kita bisa mengetahui maksud hatinya. Sungguh, luar biasa.

Kata orang, "Seribu teman yang datang padamu akan kalah dengan satu orang sahabat." Luna mempercayainya. Sudah banyak sekali teman yang datang silih berganti pada hidupnya. Namun, mereka semua hanya ingin menjilat demi sebuah nilai. Awalnya, Luna masih biasa terhadap mereka, tetapi sikap mereka justeru menghentikan sifat peduli Luna padanya.

****

Bel sekolah berbunyi tepat pada pukul 2 siang. Para murid dari SMAN 1 Jakarta keluar bersamaan dari setiap pintu kelas dan beramai-ramai menuju ke gerbang dan ada juga yang menuju ke parkiran.

Di dalam perjalanan menuju gerbang sekolah, "Lo pulang naik apa?" tanya Luna pada Kiki.

"Biasa," jawab Kiki dengan santai.

"B-biasa gimana? Kan gue gak tau." Kening Luna berkerut mendengar jawaban dari Kiki.

"Ntar juga Lo tau." Kiki menjawabnya dengan mengendikkan bahunya dan kembali berjalan santai meninggalkan Luna yang masih berdiri bengong. "Lo mau sampai kapan berdiri di situ? Ngalangin jalan orang, tau," teriak Kiki pada Luna.

Luna segera tersadar dan menengok ke kanan serta kiri dan juga belakang. Ternyata banyak yang memperhatikan posisinya dan juga dirinya sudah menhalangi jalan untuk orang lain. Luna segera meminta maaf pada mereka dan berlari menyusul Kiki yang sudah mencapai gerbang sekolah.

"Gimana? Enak gak jadi pusat perhatian? Haha," tanya Kiki dengan tawa kecil keluar dari mulutnya.

"Gila! Malu banget gue, Ki. Ngapa lo gak ingetin gue, sih," kesal Luna pada Kiki dan meninju pelan bahunya.

"Lagian Lo nga—" Ucapan Kiki terpotong oleh sebuah suara yang memanggil Luna.

"Neng Luna!"

"Lo kenal sama tuh pak satpam?" tanya Kiki heran dan sedikit terkejut ketika melihat Luna menganggukkan kepalanya. Kiki langsung menutup mulutnya untuk membungkam tawa yang akan menyembuf keluar.

"Eh, si bapak. Ada apa, Pak?" tanya Luna sopan ketika Pak Agus mendekat padanya.

Posisi Luna dan Kiki berdiri memang tak jauh dari tempat pak Agus biasa jaga. Jadi, dengan mudahnya pak Agus mendekati mereka yang terlihat sangat asyik dalam membahas sesuatu hal yang lucu.

"Belum dijemput, Neng?"

"Belum. Mungkin sebentar lagi. Oiya, Pak, kenalin, Kiki, temen Luna." Luna mengenalkan Kiki pada teman pertamanya—Pak satpam—dengan senyum yang tulus dan menawan.

"Halo, Pak." Kiki menyapa pak Agus dan mengulurkan tangannya ke hadapan pak Agus.

"Halo juga, Kiki," balas pak Agus dengan senyum yang mengembang mengakibatkan kumis tebalnya yang melintang di bawah hidungnya mengembang ke atas. Pak Agus menerima uluran tangan Kiki.

My RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang