Setelah makan siang, semuanya kembali ke aktivitas masing-masing. Luna kembali ke kamarnya dan menata buku-buku yang akan dibawanya besok. Sementara Lia kembali menggapai mimpinya yang tertunda di kasur empuknya.
Setelah menyiapkan buku untuk besok pagi, Luna mengambil diary biru untuk menuangkan segala keluh kesahnya di hari ini. Dia mulai membuka lembaran kosong dan mengambil pulpen berwarna biru juga di meja belajarnya. Dia mulai menulis tentang kejadian hari ini yang sudah dilewatinya dengan lancar tanpa hambatan suatu apapun.
Dia mengambil handphone-nya yang terletak di nakas samping tempatnya tidur. Membuka playlist lagu dan memutar sebuah lagu kesukaannya dan kembali meletakkan handphone di nakas. Dia membaringkan tubuhnya dan menggunakan kedua tangannya sebagai bantal.
Dia terhanyut dalam setiap instrumen musik dari handphone-nya.
****
"Kalo gitu, saya pamit dulu, Pak. Permisi," pamitnya pada Pak Agus.
Kiki berjalan mundur dua langkah dan kemudian berbalik badan untuk kembali jalan menghadap depan. Dia mengambil langkah lurus untuk sampai di suatu tempat melewati jalan pintas.
Namanya Kiki. Dia seorang anak sulung dengan dua bersaudara dan sudah ditinggal oleh ayahnya ketika dia berusia 8 tahun. Perempuan yang kuat dan humoris adalah topeng yang selalu dipakainya di depan semua orang. Tak pintar tapi juga tak bodoh. Dia masuk ke sekolah Negeri guna mencari beasiswa nantinya. Niat tersebut tak ada yang tahu.
Gadis berambut sedikit merah kecokelatan di ujungnya dengan usia yang baru saja 15 tahun itu harus menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Adiknya kini berusia 6 tahun yang sebentar lagi masuk ke sekolah dasar bulan depan. Dia harus bisa membiayai dirinya sendiri (paling tidak) untuk tidak membebani ibunya. Dia menjadi freelance di sebuah resto dan kafe di dekat sekolahnya sejak SMP. Sebuah restoran dan kafe yang menyediakan berbagai hidangan anak muda dengan harga yang tidak menguras kantong itu selalu ramai oleh pengunjung, Restoran dan kafe Abata, namanya. Memang, upahnya tidak seberapa namun itu cukup untuk keperluannya sehari-hari.
"Maaf, Mba. Saya telat tadi ada urusan dulu di sekolah."
"Oke, tidak apa-apa. Kamu langsung ganti baju dan mencuci piring di belakang, yaa. Hari ini banyak pelanggan yang datang kemari," jelas partner yang satu shift dengan Kiki.
"Makasih banget, ya, mba. Kalo gitu Kiki pamit ke belakang dulu, mari."
Kiki segera undur diri dan masuk ke toilet khusus pegawai dan segera mengganti seragamnya dengan pakaian kasual biasanya. Setelah selesai, dia menyimpan tasnya di loker dan segera melaksanakan tugasnya dengan senyum yang mengembang.
Kiki mempunyai prinsip dalam hidupnya yang membuatnya tetap tersenyum tegar meskipun cobaan datang menimpa keluarganya. "Apapun masalahnya, tetap berikan senyum terbaikmu kepada semua orang. Tunjukkan kepada dunia kalo 'ini loh aku' dengan senyum terbaikmu." Itulah prinsip yang selalu dipegangnya.
Kiki juga tak suka sarapan karena ibunya hanya mempunyai uang cukup untuk makan malam dan sarapan adeknya. Karena itulah, saat upacara, Kiki pingsan. Padahal, biasanya dia tidak apa-apa tapi entah kenapa hari ini dirinya bisa sampai pingsan.****
"Hai, Mba Lisa. Biar Kiki, aja. Mba yang bilas aja." Kiki menyapa mba Lisa yang satu shift juga dengannya. Mba Lisa suka bantu-bantu di dapur ataupun menggantikan posisi kasir jika berhalangan hadir.
"Eh, kamu, Ki. Yaudah, yuk semangat!" Mba Lisa mengepalkan tangannya dan meninju ke udara disertai lengkungan indah dari bibirnya. Kiki pun mengikuti hal serupa dengan mba Lisa. Mereka berdua bekerja sama dan saling bahu membahu agar pekerjaan cepat selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Rival
Teen FictionLuna, gadis manis berotak cerdas yang tidak pernah bisa mendapatkan teman yang bisa dijadikannya sebagai seorang sahabat selama 9 tahun bersekolah. Namun, di tahun ke-10, Luna baru bisa mendapatkan seorang sahabat. Hari-harinya di sekolah pun beran...