"Pagi, Pak Agus," sapa Luna kepada satpam sekolahnya dengan senyum terhias indah yang menjadikan wajah mungil itu menjadi kian ayu.
"Pagi, Neng. Semangat belajarnya," jawab pak Agus dengan senyum juga.
"Siap, atuh. Permisi." Luna pamit pada pak Agus dan berjalan dengan sisa tawa kecilnya.
Semoga hari baik selalu menyertaiku. Semangat!
Hari kedua Luna berada di sekolah barunya, semangat selalu berkobar demi tercapainya tujuan yang sama; berteman dan menimba ilmu. Dia melangkahkan kakinya dengan mantap tak ada keraguan dari wajahnya. Menapaki lantai demi lantai untuk menuju ke kelasnya tanpa terganggu kebisingan dari siswa lain yang berlalu-lalang.
Berjalan sambil menikmati semilir angin sejuk di pagi hari yang sudah tercampur polusi. Menyentuh tetesan embun yang bersemayam di daun pada tumbuhan di setiap sisi kanan jalan menuju kelasnya.
Menyisiri koridor kelas X dengan santai hingga sampai di depan kelasnya. Berhenti sejenak untuk mencuci tangan di wastafel dekat kelasnya.
Melongok ke dalam kelasnya yang pintunya baru saja terbuka separuhnya. Kosong. Sepi. Itulah keadaan kelasnya sekarang. Luna melangkah maju untuk memasuki kelasnya. Melihat ke sekelilingnya sambil berjalan mendekati tempatnya duduk.
Luna segera meletakkan tasnya dan berjalan menuju pojok belakang kelasnya untuk mengambil peralatan kebersihan. Luna mengambil sapu dan mulai menyapu lantai ruang kelasnya sambil bersenandung lagu kesukaannya dengan lirih. Menikmati setiap momen dan pergerakan tangan serta mulutnya yang bersenandung lirih.
Setelah menyapu sudah selesai, dia meletakkan sapunya di tempat semula dan menggantinya dengan mengambil kemoceng. Bergerak dari satu meja ke meja lain dengan tangan yang cekatan dan mata yang jeli memaatikan tak ada debu yang menempel.
Hingga sampai di meja guru, dia mengambil taplaknya dan mengibaskan di luar, setelahnya dia membersihkan kursi guru dan kolong meja guru tersebut.
"Selesai!" lirihnya yang hanya di dengar oleh dirinya sendiri. Dia kembali melihat sekelilingnya untuk memastikan tak ada yang terlewat. Netranya tertuju pada sebuah papan tulis putih yang ada di sampingnya. Coretan kemarin masih tertulis di sana, dia segera mengambil penghapus dan menghapusnya hingga tak ada tinta yang tergores pada papan tulis itu.
Luna kembali berjalan ke belakang kelas untuk meletakkan kembali kemoceng yang telah dipakainya. Ketika sedang menggantungkan kemoceng pada tempatnya semula, suara sepatu yang beradu dengan lantai mendekat ke arah belakang. Luna segera menggantungkannya dan berbalik badan untuk segera menuju ke bangkunya.
"Pagi. Luna, kan?" sapa cowok tersebut yang berhasil menghentikan langkah Luna untuk kembali ke bangkunya. Penampilannya yang rapi, kulitnya yang putih dan tubuhnya yang tinggi serta tegap. Berjalan mendekati Luna untuk mengulurkan tangannya.
Luna kikuk di hadapannya. Dia hanya menjawab pertanyaan dari Arsya dengan menganggukan kepalanya. Setelah dekat dengan Luna, Arsya segera mengulurkan tangannya, "Kenalin, gue Arsya. Alumni dari SMPN 102 Jakarta. Lo?"
Luna menerima uluran tangan Arsya, "G-gue Luna. Alumni dari SMPN 102 Jakarta juga." Luna mengakhiri sesi perkenalannya dengan melepaskan jabatan tangannya dan tersenyum manis.
Arsya juga kembali memasukkan tangannya ke saku celana dan menganggukkan kepalanya.Tebakan gue gak salah. Dia adalah lulusan terbaik di SMP dulu. Gue pengen tau seberapa pinternya dia.
Arsya berjalan ke bangkunya yang berada tepat di belakangnya. Meletakkan tasnya dan melihat arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Lo dulu dari kelas 9 apa?" tanya Arsya sambil duduk di mejanya.
Luna masih saja berdiri di tempatnya semula. "9D." Luna menjawabnya dengan singkat, padat, dan jelas. Dia tak mengajukan pertanyaan balik pada Arsya. Padahal, bukankah komunikasi yang baik harus ada feedback dari setiap komunikan? Lantas, kalo tidak ada feedback yang baik, bagaimana Luna akan mendapatkan seorang teman? Bukankah itu semua harapannya?
Ayo, Lun. Lo gak boleh kaku, gitu. Ini kesempatan Lo buat dapet seorang teman.
"Hmm ... gue balik ke bangku gue dulu, ya. Permisi," izinnya pada Arsya yang masih setia duduk di meja dengan membelakangi papan tulis. Arsya menanggapinya dengan senyum dan anggukan kepalanya yang sekilas.
Luna segera balik ke bangkunya dan duduk dengan perasaan yang gugup. Dia meremas kedua telapak tangganya sendiri. Mulutnya pun tak berhenti mengoceh tak jelas. Begitu pun dengan otaknya yang selalu overthinking.
"Kenapa gue gak pernah liat dia, ya?" gumamnya.
Satu per satu murid datang memenuhi sebagian kelas yang mengakibatkan kelas sudah kembali bising. Jam dinding di atas papan tulis sudah menunjukkan pukul 07 kurang 20 menit.
Pikiran Luna terus saja berkecamuk tak tentu. Lagi-lagi dia menyalahkan dirinya sendiri tentang betapa bodohnya dia yang katanya ingin punya teman tapi memulai saja tak mau. Telapak tangannya sudah tak lagi diremas-remas. Kini, dia duduk tenang sambil menghadap ke jendela, melihat pemandangan yang semuanya dihiasi oleh warna hijau.
Netranya sedikit melihat ke atas; langit. Sungguh indah awan pada saat itu. Dia selalu berangan untuk menapaki langit. Kenapa? Karena dia ingin menggapai impiannya yang setinggi langit. Sebuah doa perngharapan dia langitkan dalam hati.
"Pagi," sapa Kiki dengan suara yang sedikit lebih nyaring sambil menepuk meja di hadapan Luna. Luna segera tersadar akan lamunannya itu dan tanpa diperintah, dia segera bergeser untuk memberikan jalan pada Kiki supaya dia bisa duduk.
"Masih pagi udah bengong aja, Neng. Ntar kesambet, lho," kata Kiki dengan telunjuknya mengarah pada wajah Luna.
Luna hanya tersenyum malu, "Apaan, sih."
"Dih, dih, dih. Sok iye Lo, Neng. Hahaha." Kiki tertawa puas karena berhasil membuat wajah putih Luna bersemu merah yang sudah kentara sekali.
"Sleep well, semalem, Ki?"
"Ha? Lo tanya apaan? Jangan pake bahasa alien, deh. Gue kagak tau." Kiki mengekspresikan dirinya dengan mengangkat kedua tangannya. Melihat itu, Luna tertawa singkat. Padahal, bahasa Inggrisnya tak begitu lancar, tapi tertanya ada yang gak bisa dengan bahasa Inggris padahal itu adalah kata-kata yang sering didengar dan dipakai.
"Astaga ... Lo seriusan gak tau? Waduh, bisa gawat, ini."
"Lah iya. Emang Napa?" tanya Kiki heran. "Gue, kan, makannya nasi dengan lauk tempe dan tahu. Jadi wajar, dong, kalo gue gak tau bahasa alien."
"Iya, iya, iya. Aduh ...." Luna masih saja tertawa-tawa kecil hingga matanya mengeluarkan air mata. Dia segera menghapus air matanya itu dengan punggung tangannya. Kiki melihat Luna yang sedang menghapus air matanya, dia bercelutuk, "Lah, gak ada yang marahin, kok, Lo nangis?"
"Gue gak nangis, tau. Ini gara-gara, Lo," jelas Luna dengan menuding di hadapan Kiki menggunakan tangannya kanannya. Sementara tangan kirinya, masih digunakan untuk mengusap air matanya agar tak mengalir ke pipi.
"Lah, ngapa jadi gue?" ujar Kiki bingung. Dia tak tahu di mana letak kesalahannya pada kalimat-kalimatnya. Tak mau bikin anak orang nangis terus, akhirnya Kiki bungkam.
"Kenapa Lo datangnya siang amat, Ki?" tanya Luna setelah melihat jam dinding menunjukkan pukul 07 kurang 15 menit.
Kiki segera melihat ke arah jam dinding yang terpasang di depan kelas. "Lah, baru jam segini? Ini, sih, gue kepagian berangkatnya," kata Kiki sambil menggaruk rambut kepalanya yang sebenarnya tak gatal.
Mendengar jawaban Kiki, Luna memelototkan kedua bola matanya yang masih merah, dan membuka mulutnya sedikit. Lima detik tak ada jawaban dari Luna, Kiki segera mengalihkan pandangannya dari jam dinding ke arah tempat Luna.
"Astaga!" kagetnya, "muka Lo ngapa begitu, dah?" Kiki tertawa setelah menetralkan rasa kagetnya karena tepat dia melengos, jarak wajahnya dengan wajah Luna hanya 10 cm saja.
Luna segera mentralkan rasa kagetnya, dia segera bertanya pada Kiki. "Emang Lo bi–" Ucapan Luna terpotong karena bunyi bel masuk. Dia segera mengurungkan pertanyaan itu.
Nanti, deh, pas istirahat aja tanyanya.
Luna segera duduk dengan tenang dan anteng ketika bel sudah berbunyi. Kali ini, Kiki dibuat melongo lagi oleh Luna. Dia hanya menggelengkan kepalanya, takjub. "Lucu, unik, aneh, adalah Lo," gumamnya yang tak bisa didengar oleh siapapun karena teredam oleh suara bisingnya bel sekolah dari spiker.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
My Rival
Teen FictionLuna, gadis manis berotak cerdas yang tidak pernah bisa mendapatkan teman yang bisa dijadikannya sebagai seorang sahabat selama 9 tahun bersekolah. Namun, di tahun ke-10, Luna baru bisa mendapatkan seorang sahabat. Hari-harinya di sekolah pun beran...