Sembilan

2 1 0
                                    

"Habis ini, pelajarannya siapa?"

"Mana gue tau."

Luna bertanya perihal mata pelajaran yang segera mereka kerjakan. Luna menanyakan itu dengan maksud untuk me.bunuh waktu selama perjalanannya menuju kelas.

Di otaknya, masih tersimpan dengan jelas pertanyaan dan asumsi mengdnai gadis mungil yang percaya diri dan sedikit tomboi itu. Luna ingin segera berkenalan lebih dekat dengannya.

Membahasa seputar hobi, minat dan kegemaran bersama-sama. Saling memberi masukan dan bercerita tentang lika-liku hidupnya bersama-sama. Itu semua adalah keinginan Luna yang dibebankan pada diri seorang Kiki.

"Jadwal piket udah ada belom, Ki?"

"Tanyalah sama Arsya. Ngapa lo tanya gue?" ujar kiki dengan sedikit masa bodo, toh, dirinya gak bakal bisa berangkat pagi.

"Lo aja, deh, yang tanya. Gue malu," jawab Luna dengan menundukkan kepalanya.

Kiki hanya diam tanpa memberi komentar apapun. Mereka kembali berjalan dalam diam. Satu langkah kaki mereka memasuki kelas, bel masuk berbunyi nyaring.

Sebagian murid telah mengikuti bangkunya. Sebagiannya lagi tak tahu dombanya. Kiki melanjutkan langkah kakinya menuju tempatnya dengan diikuti oleh Luna di belakangnya sambil terus menundukkan kepalanya.

Setelah mereka berdua kembali duduk, suara gaduh dari sepatu yang beradu dengan lantai memenuhi ruangan bercat krem dengan langit-langitnya yang berhiaskan bintang-bintang dari sebuah kertas berwarna-warni. Dina, yang saat itu sedang berbicara kepada Lilis yang tempat duduknya dekat dengan pintu, segera berlari mengikuti murid laki-laki yang juga berlarian menuju tempatnya.

Mereka semua telah duduk dengan tenang sembari menetralkan nafasnya yang tersengal-sengal karena berlari.

"Kena tipu ...." Seruan dari suara berat berasal dari barisan paling belakang dengan diiringi tawa puas dari teman-temannya yang ikut melancarkan aksinya untuk mengerjai teman sekelasnya.

Dina yang merasa ditipu karena dia pikir mereka berlari karena ada guru. Namun, ternyata hanya sebatas gurauan langsung saja naik pitam.

"Kurang ajar, Lo, ya!" seru Dina dari tempatnya duduk dan menunjuk laki-laki yang telah menipunya itu.

Komplotan penipu ini langsung saja tertawa terbahak-bahak dengan puas karena berhasil menipu salah satu temannya.

"Salah, Lo. Ditipu mau aja. Ya gak, bro?" balas salah satu dari komplotan itu dan meminta persetujuan dari mereka tentang kalimatnya itu.

"Yoi, bro!"

Tawa mereka kembali meledak. Mereka merasa puas hari ini.
Luna hanya melongo melihat peristiwa yang terjadi dalam kelasnya. Awal dia masuk, semua terasa canggung. Namun, setelah mereka semua berkenalan dengan perlahan suasana kelas sudah mencair dan hangat.

"Lo udah punya berapa temen di dalam kelas ini?" tanya Kiki tiba-tiba.

"Em. Baru dua, sih," jawab Luna sedikit ragu. Apa iya? Arsya yang notabene-nya ketua kelas yang pertama ngajak kenalan harus dia anggap sebagai teman? Luna ragu akan hal itu. Namun, bukankah awal pertama dia kenal Kiki juga begitu? Kenapa sekarang Luna ragu?

Kiki melihat gelagat tak yakin dari Luna. "Siapa aja?" tanyanya dengan wajah penasaran. Baru kali ini dirinya melihat seseorang yang benar-benar beda.

"Lo sama A-Arsya," jawab Luna ragu.

Kiki menganggukkan kepalanya dan kembali ke rutinitasnya; memandang ke luar jendela. Dia heran dengan tingkah absurd dari Luna. Kiki pikir Luna seperti kebanyakan orang yang canggung di awal dengan alasan belum kenal. Namun, dia salah, Luna, ya, Luna.

****

Sudah sepuluh menit kelas mereka ramai karena guru tak kunjung datang. Mereka sibuk bercanda ria dan ada juga yang bermain gadget. Masa SMA sudah beda dengan SMP dulu. Waktu SMP tak ada yang berani membawa gadget ke sekolah tetapi, kini hampir separuh dari isi kelas membawa gadget.

Mereka yang tidak membawa gadget lebih memilih mengobrol secara langsung dan bergurau bersama dalam satu kelompok. Meja urutan ke dua lah yang menjadi sasarannya. Setidaknya ada enam orang yang bergerombol di meja seberang luna. Mereka yang tidak mendapatkan tempat duduk, menarik kursinya sendiri dan dibawa mendekat ke kumpulan itu. Luna hanya mendengar percakapan mereka tanpa ingin ikut bergabung di dalamnya. Terlalu malu untuknya. Luna takut jika ekspektasinya akan salah jika dia berkenalan dan ikut bergabung dengan mereka.

Lima menit kemudian, suara ketukan sepatu dari luar mendekat. Membuka pintu kelas tanpa sapaan. Semua orang masih belum sadar jika seorang guru telah masuk, hanya Luna yang mengetahuinya. Dia segera menyenggol orang yang duduknya paling dekat dengannya untuk memberitahukan agar kelompok itu bubar.

"Udah ada guru," bisik Luna kepada teman sekelasnya yang membelakanginya. Dia mendengar bisikan tersebut dan segera mendongak untuk memandang ke pintu kelas. Benar saja, sudah ada guru di sana. Mereka segera membubarkan diri dan menarik kursinya ke asalnya begitu juga dengan yang laki-laki. Mereka segera memposisikan dirinya memang aku duduk di kursinya.

Setelah semuanya telah rapi dan duduk di bangkunya masing-masing. Pak Hans—guru sejarah—segera membuka kelasnya dengan petuah-petuah selama mereka ingin mengikuti kelasnya, salah satunya semua harus dalam keadaan rapi, duduk di tempatnya dan bersih. Mereka semua mengangguk sebagai responnya. Kelas segera di mulai. Tanpa banyak membuang waktu, beliau segera memperkenalkan diri dalam lima menit dan langsung masuk ke dalam materi.

Jam menunjukkan pukul 10 tepat ketika pelajaran sejarah dimulai. Satu dua orang terlihat menguap karena kantuk menyerang tiba-tiba di tengah-tengah pelajaran yang sedang berlangsung.

"Kalo ngantuk. Silakan untuk tutup pintu kelas ini dari luar!"

Kalimat yang disampaikan tanpa adanya ekspresi dan intonasi membuat mereka semua terbungkam. Menundukkan kepalanya ke bawah dengan harapan guru itu segera keluar dirapalkan dalam hati setiap orang. Bukannya mereka tak mau belajar tetapi, cara penyampaiannya yang kaku dan cenderung meng-copy dari modul yang dibawanya itulah yang membuat mereka semakin dilanda bosan. Tidak ada pergerakan untuk melakukan pendekatan dengan anak didiknya menjadi point penting yang tersimpan di memori mereka bahwa guru tersebut hanya duduk diam. Asalkan kita tak bersuara dan sebisa mungkin tak mengantuk, pasti aman.

Hanya mendengarkan dan sesekali mencatat penjelasan yang mereka anggap seperti sedang mendikte kepada anak SD. Di antara dari mereka ada yang berbisik pada teman sebangkunya tentang betapa lamanya pelajaran ini.

Berbeda halnya dengan Luna, meskipun dia tidak menyukai pelajaran dan cara mengajarnya. Sebisa mungkin Luna tetap tenang dan mencatat apa yang perlu dicatat dari mulut beliau. Luna tidak ingin jika dia dicap sebagai murid tak ber-atittude atau sejenisnya. Sikap awal lah yang guru lihat untuk menilai anak didiknya.

Tepat pukul 10.15, Pak Hans segera menutup kelas. Semua murid segera menghembuskan nafasnya yang mungkin saja telah ditahannya selama 15 menit terakhir. Yang jelas, semua bersyukur atas selesainya pelajaran ini.

"Akhirnya .... Ngeselin banget, deh." celetuk salah seorang siswi dari samping tembok deretan pertama—dekat pintu. Mereka semua mengeluarkan unek-uneknya pada Pak Hans setelah guru tersebut keluar dan kelas kembali bising.

"Syukur, deh, udah kelar," ucap Kiki lirih dengan menghela nafas dan tangannya memainkan pulpen yang digenggamnya.

"Kenapa, Ki?" Luna bingung dengan ucapan syukur yang keluar dengan mulut Kiki.

"Jantung gue jadi lagi senam dari tadi," balas Kiki dengan cengiran khasnya yang menunjukkan giginya seperti iklan pasta gigi.

Luna menganggukkan kepalanya. Sejujurnya, dia pun sama dan juga dia keget. Tidak ada guru yang seperti itu di SMP-nya dulu. Dia mencoba untuk memahami ritme dan etika guru tersebut dalam mengajar agar dia tak tertinggal.

****

My RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang