Jam istirahat kedua segera berbunyi tatkala pak Hans sudah keluar dari kelas selang satu jam. Mereka semua kembali memenuhi kantin untuk makan siang. Beda halnya dengan Kiki, dia asyik dengan pemandangan di luar jendela tanpa berniat pergi menyusul teman-temannya.
"Gak ke kantin?" tanya Luna yang menunggu balasan dari Kiki dengan kening berkerut ke bawah."Gak. Kalo Lo mau ke kantin, Lo ke sana sendirian, ya? Lagi males soalnya," jawab Kiki dengan mengibaskan dua tangannya dengan maksud mengusir Luna agar pergi ke kantin sendirian.
"Yaudah, gue nemenin Lo aja," putus Luna cepat. Dia tidak mau pergi ke kantin sendirian karena dia malu jika harus berjalan sendiri dan dia juga belum mengenal teman sekelasnya.
Masih ada seseorang yang memperhatikan mereka berdua di dalam kelas. Kelas tak sepenuhnya sepi, ada lima orang di dalamnya termasuk dia. Orang itu memperhatikan gerak-gerik Luna dan Kiki dari tempatnya duduk.
"Yakin? Sana, gih, kalo emang mau ke kantin. Biar Lo juga punya temen banyak. Emang Lo gak mau?"
"Mau sih .... Tapi gue malu." Luna menjawabnya dengan murung dan menunjukan cengiran di depan Kiki.
Kiki sebenarnya tak tega tetapi, dia harus tega karena dia gak mau Luna tahu kalau sebenarnya uang sakunya udah habis tadi. Lagian, kan, dirinya sudah punya satu botol air mineral yang masih utuh. Lumayanlah buat ngeganjel perut. Dia juga tidak mau jika Luna harus kelaparan di jam-jam terakhir belajar.
Luna pun sebenarnya lapar tetapi, dia tidak mau keluar jika tidak bersama Kiki. Luna merasa malu jika harus berjalan sendiri.
Kiki segera mendorong bahu Luna hingga dia keluar dari tempatnya duduk. Luna yang memang tak suka jika belajar perutnya merasa keroncongan karena lapar, mau tak mau dia pergi meninggalkan Kiki. Luna berjalan keluar menuju kantin untuk membeli beberapa makanan untuk dirinya dan juga Kiki.
Satu orang di dalam kelas itu segera bangkit dari tempatnya dan mengikuti Luna berjalan keluar. Dia berjalan di belakang Luna dengan terpaut jarak satu meter. Luna tak menyadarinya, dia hanya fokus berjalan untuk segera sampai ke kantin dan membeli apa yang butuhkan dan segera balik ke kelas.
Sesampainya di kantin, Luna segera membeli dua botol teh dalam kemasan. Di saat dirinya sedang memilih makanan ringan, ada seseorang yang berdiri di sampingnya.
"Kok gak sama Kiki?" tanyanya seraya ikut memilih makanan ringan.
"Em, iya, Ki-ki lagi gak pengen ke kantin," jawab Luna agak gagap.
"Udah selesai?" tanya Arsya ketika melihat Luna memanggil ibu kantin.
"Eh, udah." Luna segera membayar belanjaannya dan segera berbalik badan untuk segera kembali ke kelas.
"Tunggu!" Suara Arsya menginterupsi langkah Luna. Dia menengok ke belakang dengan satu alis mengangkat ke atas.
Arsya yang melihat Luna berhenti, dia segera berlari mendekat padanya setelah membayar makanannya.
"Mau ke kelas?" tanya Arsya ketika dia sudah sampai di dekat Luna. Luna hanya menganggukan kepalanya dan setelah itu dia kembali berjalan menuju kelasnya yang diikuti oleh Arsya.
Satu menit mereka berjalan bersisian, tak ada yang ingin memulai sebuah obrolan. Arsya yang sebenarnya ingin tahu lebih dan mengajak dia bersaing di mata pelajaran tertentu, akhirnya, membuka sebuah obrolan yang terlalu basi.
"Lo udah kenal sama semua temen sekelas?" Luna menjawabnya dengan menggelengkan kepala.
"Btw, Lo suka sama pelajaran apa?"
"Matematika." Hanya sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Dia sebenarnya malu dan enggan untuk memulai pertemanan dengan seorang laki-laki 'tampan' menurut standar anak perempuan di kelasnya.
"Wajib atau minat?" tanya Arsya mengorek lebih dalam. Ternyata pelajaran yang disukai oleh Luna sama seperti dirinya.
"Emang apa bedanya?" tanya balik Luna agak ketus.
"Ya, beda dong. Kita liat nanti aja." Arsya menanggapi dengan senyum smirk yang sayangnya tak terlihat oleh Luna.
Tak ada lagi suara yang keluar dari mulutnya mereka berdua sampai keduanya mendekati kelasnya. Sebelum masuk ke kelas, Luna memberanikan dirinya untuk bertanya pertanyaan yang sama waktu itu yang dia tanyakan pada Kiki.
"Em. Btw, udah ada jadwal piketnya, Sya?" tanya Luna untuk pertama kalinya dengan sedikit gugup yang melanda.
"Oh, iya. Belum ada," jawab Arsya dengan menunjukan cengirannya dan menepuk keningnya. "Nanti pulang sekolah, gue sama yang lainnya rembugin, deh. Makasih, udah tanya."
"Sama-sama."
Mereka memasuki kelasnya hampir berdampingan tetapi, setelah masuk ke kelas, Luna segera berlari menghampiri Kiki yang masih asyik menikmati pemandangan yang 'menarik' dengan sebotol air mineral di depannya.
Kiki yang mendengar suara kursi yang bergeser, dia segera memalingkan wajahnya ke samping kanan dan menemukan Luna sudah duduk dan satu kantong plastik di depannya.
"Udah?"
"Udah," jawab Luna sambil membuka kantong plastik yang tadi dibawanya. "Nih, Ki. Buat Lo." Luna menyerahkan satu botol teh dalam kemasan dan dua Chiki yang tadi di belinya. Luna segera membuka makanan miliknya dan memakannya. Sementara Kiki, dia masih menatap tak percaya dengan makanan dan minuman di depannya.
"Makan, Ki, jangan diliatin mulu," tegurnya dengan sesekali mengunyah makanannya.
"E-eh iya. Makasih, ya, Lun," balasnya dengan senyum tulus dan mata yang berkaca-kaca. Hari ini memang sebenarnya Kiki sudah merasa sangat lapar. Namun, hanya ada air mineral yang tersisa, jadilah dia mengenyangkan perut dengan air tersebut. Tak dinyana, Luna membawa makanan ringan dan sebotol teh membuat hatinya begitu bahagia. Dia bersyukur bisa berteman dengan Luna. Meskipun menurutnya, Luna agak aneh.
Mereka berdua menghabiskan makanan ringannya dalam hening. Luna menikmati kebersamaan yang dibangunnya bersama Kiki dan juga kebersamaan ketika dia bersama Arsya. Baru dua orang memang tetapi, hatinya begitu bahagia atas pencapaiannya sendiri.
15 menit sudah berlalu dari jam istirahat. Kelas kembali penuh dan diisi berbagai perbincangan dari segala sisi. Hanya Luna dan Kiki yang terlihat diam di tempatnya. Pikiran Luna kembali berbalik ke waktu istirahat, tepatnya ketika dia berjalan bersama Arsya.
Kenapa Arsya menanyakan hal seperti itu, ya?
Awalnya, Luna tak menaruh rasa curiga padanya. Namun, ada sesuatu yang aneh dari Arsya. Dari cara mereka berkenalan pertama hingga tadi disaat mereka berjalan bersama.
Arsya. Siapa, sih, dia?
Batin dan otaknya terus saja mencari kejelasan dan asumsi yang menunjukkan kebenarannya. Namun, nihil.
Brak!
Dentuman keras dari meja yang digebrak itu bagai interupsi. Tak ada lagi perbincangan di dalam kelas karena sekarang semua mata tertuju pada penghasil sumber bunyi yaitu meja Luna.
Kiki yang kaget segera menengok ke arah Luna dan mendapatkan cengiran dari gadis tersebut sebagai tanda permintaan maafnya. Luna juga mengedarkan pandangannya dan menganggukkan kepalanya di sertai dengan senyum yang terpatri.
Malu-maluin, aja, lo. rutuknya dalam hati kepada dirinya sendiri.
Arsya segera tersadar bahwa dia harus membuat jadwal piket untuk kelasnya. Lagi-lagi karena Luna. Dia segera berdiri dari duduknya dan berjalan ke depan kelas.
"Minta perhatiannya sebentar," ucap Arsya dari depan kelas yang membuat mereka semua berhenti dari aktivitasnya dan memusatkan perhatiannya kepada Arsya. Setelah dirasa mereka sudah memusatkan perhatiannya, dia kembali melanjutkan ucapannya. "Untuk pengurus kelas, nanti jangan pada pulang dulu, ya. Ada hal yang harus kita bahas. Terima kasih."
Setelah selesai menyampaikan pesannya, dia kembali ke tempatnya dan bersamaan dengan itu, pintu kelas di buka oleh seorang guru. Semua murid pun segera kembali ke tempat duduknya untuk bersiap menerima pelajaran terakhir hari ini.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
My Rival
Teen FictionLuna, gadis manis berotak cerdas yang tidak pernah bisa mendapatkan teman yang bisa dijadikannya sebagai seorang sahabat selama 9 tahun bersekolah. Namun, di tahun ke-10, Luna baru bisa mendapatkan seorang sahabat. Hari-harinya di sekolah pun beran...