Dua Belas

5 1 0
                                    

Kiki berjalan melewati jalan yang sama seperti kemarin. Kali ini dia berjalan sangat santai dengan tiupan angin sore yang berhembus menerpa wajahnya langsung dan tiupannya itu membawanya ke masa lalunya. Seseorang yang sudah membuatnya menyukai alam dan memahaminya.

"Kenapa kamu suka liat ke atas, sih?" tanya Kiki yang saat itu masih berusia 10 tahun. Kiki, perempuan yang memang suka kepo dan menghargai kesenangan orang. Namun, berbeda kali ini, dia yang setiap hari selalu memperhatikan tingkah sahabatnya itu ketika mereka sedang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Dia—sahabatnya—selalu memilih berjalan melewati jalan pintas atau menyusuri pinggiran sungai daripada melewati jalan raya yang sudah beraspal. Dia yang sudah menjadikan Kiki menyukai jalan pintas yang sepi dan yang masih berdiri pepohonan di kanan kirinya. Taman adalah tempat kesukaan dia dan saat itu juga sudah menjadi tempat kesukaannya juga.

"Padahal langitnya lagi mendung. Ayo, pulang!" ajaknya dengan menarik tangan dia.

"Sebentar, ih. Satu menit lagi!" ujarnya dengan melepaskan tangan Kiki darinya.

"Oke. Satu menit," putus Kiki menyetujuinya.

Dia kembali memandang langit dengan tersenyum, tetapi kali ini pandangannya kosong. Kiki memperhatikannya. Kiki heran dengan kelakuan yang menurutnya itu aneh. Ketika hujan turun pun dia memilih melambatkan jalannya, tak peduli dirinya akan sakit.

"Ayo, udah satu menit!" ajak Kiki dengan kembali menarik tangannya.

Dia mengikuti langkah Kiki. Kiki tahu kalau dia tidak menyukai lewat jalan raya yang sudah beraspal. Akhirnya Kiki menariknya melalui jalan yang biasa mereka lalui meskipun harus memutar lebih jauh. Jalan yang mereka lalui menembus sebuah taman yang ada di dekat rumah dia. Sementara Kiki, harus kembali berjalan terus untuk masuk ke sebuah desa yang mana lebih cepat jika melewati jalan raya.

"Bentar, Ki. Kita duduk dulu di taman, ya!" pintanya dengan sedikit memohon yang diiringi senyum menawannya. Siapa yang tak jatuh hati dengan senyum yang menawan itu. Parasnya yang tampan dan sikapnya yang baik serta sering membuat orang yang ada disekelilingnya itu tertawa dengan jokes yang receh.

"Ayo!" Kiki melangkahkan kakinya lebih dulu ke arah bangku taman dan diikuti oleh dia. Mereka duduk di bangku taman tersebut dan menyenderkan punggungnya. Lagi dan lagi dia memandang ke atas sambil tersenyum dengan punggung yang masih menyender di bahu bangku.

Kiki mengambil kantong plastik besar untuk memasukkan tasnya agar buku tidak basah. Dirinya berjaga-jaga jika diperjalanan ke rumah ternyata hujan turun.

"Air minum kamu masih?"

"Masih." Dia melepaskan tas punggungnya dan mengambil botol air minumnya yang masih tersisa setengahnya. "Nih!" Dia menyerahkan botol minumnya ke wajah Kiki.

Kiki langsung meminumnya karena jika harus berjalan memutar cukup membuat dahaga menyerangnya. Dia meminum setengahnya, setelah itu dia kembalikan lagi ke pemiliknya.

"Nih, makasih, ya!"

"Sama-sama." Dia menjawab dengan senyum yang indah bagi Kiki. Senyum yang selalu dirindukanya dan senyum yang kita tak pernah tahu bagaimana kondisi hatinya. Yang jelas, senyumnya sudah menjadi candu tersendiri bagi Kiki.

Dia yang merasa dirinya sedang diperhatikan segera menengok ke samping dan menemukan wajah lugu, cantik dan imut Kiki yang sedang tersenyum ke arahnya. Baginya, Kiki adalah teman sekaligus sahabat yang terbaik dalam hidupnya. Sifatnya yang aneh dan cenderung kelak-lakian itu membuatnya tertarik apalagi dengan bulu mata yang lentik.

Setelah dia melihat ke wajah Kiki, dia melemparkan senyumnya. Dia meminum sisa air yang masih ada di dalam botol hingga tandas. Suatu kebiasaanya yang menyisakan setengah airnya untuk Kiki di saat mereka berdua pulang bareng dan sudah jadi kebiasaan Kiki juga yang menyisakan sebagiannya lagi untuk dirinya. Kebiasaan yang lama-lama menjadi rutinitas mereka selama enam tahun sekolah dasar.

"Kenapa kamu liat ke atas terus, sih?" tanya Kiki sekali lagi.

My RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang