Tiga Belas

2 1 0
                                    

Tiiiin! Tiiiin! Tiiiiiin!

Tiga pasang mata segera menengok ke sumber suara. Kiki dan pak Agus segera menghentikan tawanya dan beralih menatap ke Luna. Luna yang merasa familiar dengan mobil hitam tersebut segera memberi kode “sebentar dengan mengangkat tangan kanannya yang jari jemarinya dibiarkan berdiri.

"Ki, gue cecar dengan pertanyaan yang sama. Besok! Dan sama pak Agus juga. Awas aja!" Luna menekankan kalimatnya dengan jari telunjuknya yang diacungkan ke arah Kiki.

" Iya, iya, hahaha. Sana, ntar adek Lo marah-marah." Kiki hanya menanggapinya dengan santai yang ditandai dengan tawa kecil yang masih mengikutinya. Dia juga mendorong bahu Luna agar berbalik badan dan segera menuju ke arah mobilnya.

Luna yang kalah kuat dengan Kiki hanya mengikuti pergerakannya tanpa berniat melawannya. "Pak, Luna duluan, ya!" serunya sambil menengok ke belakang dan mengacungkan tangannya ke atas sebagai tanda perpisahan.

Pak Agus membalasnya dengan mengangkat tangannya, "Inggih, Neng." Pak Agus membalasnya dengan bahasa Jawa yang diketahuinya. Kiki menghentikan aksi mendorong Luna dan berbalik menatap pak Agus dengan kerut heran. Yang dipandanginya hanya menampilkan senyum kudanya dan tawa kecil yang mengudara. Luna tertawa paling keras diantara mereka bertiga. Dia membawa tawanya hingga masuk ke mobil.

"Yuk, Pak. Jalan!" titah Luna pada sopir keluarganya itu dengan tawa yang masih membersamainya.

"Seperti biasanya ...," celetuk Lia setelah Luna duduk di bangku penumpang di belakang.

"Apa?"

"Lama!" ketus Lia. Dia mulai menyadarkan tubuhnya dan menyalakan musik yang ada di mobil itu dengan volume keras sehingga dia tidak mendengarkan omelan Luna.

Luna segera menghentikan ucapannya karena volume musik yang terlalu keras menurutnya. Dia membiarkan tingkah Lia yang seenaknya sendiri. Luna segera menyenderkan tubuhnya dan memejamkan matanya dengan senyum yang mengembang.

Semoga setiap hari selalu begini. Penuh bahagia dan kejutan. batin Luna dengan mengingat tingkah Kiki dan pak Agus.

Siapa Arsya itu, ya? Kok gue curiga sama dia, sih. pikirannya kembali tertuju pada sosok laki-laki dengan mata hitam pekatnya dan bertubuh tinggi itu. Katanya, dia dari SMP yang sama dengan Luna. Namun, Luna tidak pernah mengetahuinya.

"Kan ada buku kenangan pas SMP. Mungkin di sana ada foto Arsya. Nanti, deh, gue cek," pikirnya cepat. Luna kembali melabuhkan pikirannya dengan berbagai spekulasi yang semakin banyak terhadap Kiki. Banyak hal yang harus diketahuinya tentang sebuah kebiasaanya, salah satunya melihat keluar jendela.

Mobil terus melaju dengan lancar tak terasa satu kelokan lagi mereka akan sampai di rumah. Mang Nurdin menurunkan volume musiknya setelah memasuki gerbang perumahan.

Luna segera bersiap untuk turun dari mobil. Mobil telah memasuki gerbang rumahnya dan telah terparkir di halaman rumahnya. Mang Nurdin segera mematikan mesin mobilnya, Luna segera turun dan berlari masuk ke rumah ternyamannya.

"Aku pulang!" serunya dari pintu masuk. Di belakangnya disusul oleh Lia.

"Berisik!" Lia segera melenggang pergi ke kamarnya untuk segera mandi dan turun lagi untuk makan.

Luna berjalan memasuki dapur dan melihat Mama Neni sedang menyiapkan makan siang untuknya. Luna berniat untuk menyicipi masakan itu.

"Jangan sentuh makanan itu sebelum kamu ganti baju dan cuci tangan!" peringat Mama Neni yang sudah berdiri di belakang Luna dengan dua tangannya berada di pinggangnya. Luna segera berbalik badan dan menunjukan muka tanpa dosanya serta langsung berlari naik untuk berganti baju dan mandi.

My RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang