Empat Belas

1 0 0
                                    

Sinar mentari yang cerah membawa aura sendiri bagi setiap insan bernyawa; dengan kepulan asap yang sudah membumbung tinggi di langit Jakarta saat ini. Luna membuka gorden kamarnya dan meregangkan tubuhnya di depan jendela pagi ini. "Selamat pagi, Jakarta. Selamat, pagi, dunia. Hari baik selalu menyertaiku. Semoga!" ucapnya pada diri sendiri di depan jendela.

Setelah melakukan ritualnya setiap pagi, Luna segera masuk ke kamar mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolahnya. Menyiapkan segalanya sebelum mama Neni membangunkannya adalah hal yang selalu dilakukannya setiap pagi. Alarm tubuhnya sudah disetting agar bisa bangun tepat waktu. Pelajaran untuk hari ini pun sudah dia siapkan sore harinya. Jadi, di pagi harinya, dia memiliki waktu yang sedikit santai untuk menikmati hari barunya.

Luna akan membuka pintunya yang bertepatan dengan mama Neni yang mendorongnya ke dalam. Pintu itu menjeblak terbuka, dua orang yang sama-sama memegang handle pintu itu menampilkan wajah kagetnya. Mama Neni segera mengelus dadanya, sedangkan Luna menunjukkan senyumnya, "Morning, Mah."

Mama Neni menganggukan kepalanya dan melepas tangan yang memegang handle pintu itu dengan senyuman keibuannya, "Morning too, Dear. Tunggu di meja makan, yaa. Sudah ada papah di bawah."

Luna segera mengangkat satu tangannya dan menempelkan ujung jarinya di pelipis, "Siap, big boss!" Mama Neni mengacak rambut depan Luna dan segera berbalik menuju kamar yang ada di depan kamar Luna. Luna yang melihat Mama Neni berbalik segera menutup pintu kamarnya dan berlari turun menuju meja makannya.

"Morning, Pah!" sapa Luna ketika sudah sampai di meja makan. Benar. Papahnya itu sudah duduk di kursi paling ujung dari meja makan dan dia sedang membaca koran pagi ini dengan secangkir teh yang menemaninya. Luna mendekatinya dan mencium pipi kanan sang papah tercintanya dan duduk di kursi kebanggaannya yang di sebelah kanan sang papah.

"Morning too, Sayang! Gimana sekolahnya?" balasnya dengan mengusap lembut rambut hitam milik putri sulungnya.

"Baik-baik aja, Pah," jawab Luna dengan menunjukan semangatnya yang sudah terlihat jelas di mata sang papah bahwa ada sebuah cerita yang menarik dari sekolah putri sulungnya itu.

"Ada yang lagi semangat, nih. Ada apa?" tanya Pak Surya setelah nenyeruput tehnya. Dia juga melipat korannya dan menyimpannya.

Luna mengisi gelasnya dengan air putih dan segera meminumnya hingga tersisa setengahnya. "Aku seneeeeng banget. Untuk kali pertamanya aku bisa mendapatkan seorang temen dan juga sekaligus sahabat, Pah." Luna menceritakannya dengan mata yang berkaca-kaca dan dengan senyum harunya.

Thanks, God. Akhirnya, Puteri sulungku tidak lagi merasa kesepian di sekolah. Semoga persahabatannya tidak mempunyai masalah yang buat Luna sedih.

Pak Surya tersenyum dan menampilkan wajah yang penasaran lagi antusias untuk mendengarkan cerita dari mulut Luna.

Cerita Luna pun diakhiri dengan sebuah pertanyaan yang membangkitkan kembali ingatan masa lalu sang papah. "Pah, mau tanya, emang kita punya darah Jawa, gak, Pah?" tanya Luna santai dengan menghabis air putihnya sambil membunuh waktu untuk menunggu Lia yang selalu kesiangan.

Pak Surya memancarkan wajah kagetnya mendengar pertanyaan dari putrinya itu. Salahnya sendiri, memang, tidak menceritakan kisah hidupnya pada Luna. Namun, sebelum menikah dengan Neni, dirinya sudah menceritakannya padanya sebelum menikah. Setelah Luna lahir pun, tak ada yang ingat tentang suku Jawa itu. Mereka seakan lupa dengan provinsinya dan dari Luna kecil hanya bahasa Indonesia dan Inggris yang mereka berdua ajarkan untuk Luna. Karena itulah dirinya kaget mendengar pertanyaaan dari mulut Luna.

Sekelebat bayangan masa kecilnya segera datang menghantui pikirannya. "Pah, kok bengong? What's happened?" tanya Luna dengan menyentuh tangan papahnya secara lembut karena dia melihat wajah sang papah dengan tatapan kosong dan wajahnya yang murung.

My RivalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang