Baru pukul 6 lewat 15 menit, itulah yang tertera di arloji hitam milik papahnya. Luna turun dari mobil dan pamit untuk masuk. Baru ada beberapa siswa yang sudah hadir, karena gerbang masih dibuka setengahnya, belum dibuka sepenuhnya. Luna melangkahkan kakinya diiringi terik matahari yang sudah menyengat kulitnya. Melangkah melewati gerbang tanpa penjagaan.
"Kok pak Agus gak ada, ya?" tanya Luna pada dirinya sendiri.
Dia berhenti tepat di depan gerbang dan sedikit bergeser ke kanan untuk memberikan akses orang lain supaya bisa masuk. Dia memutar kepalanya mencari keberadaan satpam sekolahnya itu. Nihil. Mungkin, dia terlambat. Pikir Luna saat itu.
Luna kembali melanjutkan langkahnya melewati lobi sekolah kemudian berbelok ke kanan untuk masuk ke lorong kelasnya. Tidak mengambil jalan tengah, tapi dia mengambil jalur sisi kanan untuk dekat dengan taman hingga berakhir di depan kelasnya. Luna suka dengan taman sekolahnya karena mereka merawatnya dengan baik. Bunga-bunga pun tumbuh subur di sana, ketika waktunya mekar, dia senang melihat warna-warni dari bunga tersebut.
Sesampainya di kelas, lagi dan lagi Luna menjadi orang pertama yang sampai. Dia kembali membersihkan kelasnya dengan senang hati. Meskipun jadwal piket belum terpasang, dia rela membersihkan seluruh ruangan kelasnya karena dia tidak suka jika harus belajar dalam kondisi yang berantakan dan kotor di sekitarnya.
"Kok jadwal-jadwal belum terpasang semua, sih?" tanya Luna heran ketika netranya menelusuri tembok bercat krem tersebut. Tidak ada kertas karton yang tertempel di sana yang menuliskan tentang jadwal piket dan jadwal olahraga. "Ya udah, deh. Yang penting bersih, rapi, dan nyaman adalah hal terpenting bagi gue. Bodo amat sama masalah udah ada jadwal apa belum," lanjutnya dengan membersihkan kolong-kolong meja di setiap barisannya.
Jarum jam dinding yang ada di atas papan tulis itu menunjukkan jarum panjang berada di angka 6 dan jarum pendeknya di antara angka 6 dan 7 ketika Luna selesai menyapu kelasnya. Kini saatnya luna membersihkan debu-debu yang ada di meja-meja tersebut. Ketika dia sedang membersihkan meja di barisan kedua tempat kedua dari pintu, seseorang melangkahkan kakinya masuk mendekati Luna yang sedang membersihkan meja tersebut.
"Pagi," sapanya dengan menundukkan sedikit kepalanya agar melihat wajah Luna saat itu.
Suara kecil yang sedikit cempreng menelusup masuk pada indra pendengarannya yang seketika tangan Luna menjadi gemetaran tak keruan. Dia mencoba mengangkat kepalanya dengan gerakan yang patah-patah.
"Hai. Selamat pagi," sapanya lagi dengan menepuk bahu Luna. Dia sudah menunggu balasan dari Luna, tetapi belum satu pun kata yang keluar dari mulut Luna. Dia juga melihat tangan Luna yang gemetaran dan menangkap gerakan Luna yang patah-patah seakan dirinya telah melakukan kesalahan dan tertangkap basah.
Tak ingin berdebat terlalu lama dengan batinnya, Luna segera membalas sapaannya dengan sedikit ragu. "H—Hai, Pa—Pagi!" Luna membalasnya dengan senyum yang sedikit mencuat dari bibirnya. Dia menunjukkan wajahnya hanya sekilas kemudian kembali menundukkan lagi wajahnya sehingga rambut yang sudah sedikit panjang itu terbalik ke depan dan menutupi sebagian wajahnya.
"E—Eh, jangan canggung gitu, sama gue. Santai aja. Btw, makasih ya udah bersihin tempat gue," katanya dengan senyum manisnya dan sedikit canggung setelah mendengar suara dari Luna.
"I—iya. Sama-sama." Luna membalasnya dengan senyum yang canggung. Dia kemudian permisi untuk membersihkan meja lainnya yang tersisa karena jarum panjang jam dinding tersebut sudah berada di angka 7. Dia segera pamit pada orang tersebut, "Ma—Maaf, gue ha—harus selesain ini. Permisi."
Luna segera menuju meja yang belum dibersihkannya, kemudian menuju ke meja guru untuk membersihkan tempat itu. Setelah semuanya beres, Luna kembali berjalan ke belakang untuk meletakkan alat kebersihan yang telah digunakan dan merapikannya. Setelah itu, Luna segera menuju ke mejanya dan duduk untuk menunggu Kiki yang belum juga datang. Dia meminum air minumnya untuk menghilangkan dahaga yang menyerang.
Ketika dia sedang mengembalikan botol air minumnya, tiba-tiba sudah ada tangan dengan kulit sawo matang yang bersih dan jari-jari tangan yang lentik. Luna mengangkat kepalanya dan kembali melihat orang yang tadi menyapanya. Luna segera menundukkan lagi kepalanya setelah melihat senyum gadis itu.
"Kita belum kenalan, kan? Gue Santi. Lo?" kata Santi dengan menjulurkan tangannya ke hadapan wajah Luna.Suara tapak sepatu yang mendekat ke arah mereka berdua mengalihkan fokus Luna. Luna segera melihat Kiki yang berada di belakang Santi dengan wajah bingung. Santi yang mengikuti arah pandang dari Luna segera membalikkan badannya.
"Hai, San. Kok Lo di sini?" sapa Kiki dengan wajah bingung yang terlihat kentara.
"Itu, gue ta—"
"Jam berapa ini, Ki?" tanya Luna dengan melipat kedua tangannya.
Santi yang ucapannya terpotong segera mundur dan mengikuti ke samping kiri tempat di mana Luna berada. Dia melihat Luna dengan gaya yang seperti ibu memarahi anaknya karena terlambat. Suara Luna pun tidak terdengar canggung seperti pertama kali disaat dirinya menyapa. Dia segera melabeli Luna dengan kata 'sombong'. Tak mau berlama-lama di sana, dia segera undur diri, "Sorry, gue balik ke tempat gue, ya."
Luna yang tersadar akan suara lain diantara dirinya dan Kiki segera menetralkan sikapnya dan kembali menundukkan kepalanya.
"Iya, San." Kiki membalasnya dengan senyum yang canggung terhadapnya karena melihat sikap Luna yang berbeda dari sebelumnya.
Kiki segera duduk di tempatnya diikuti dengan Luna. "Kok Lo baru berangkat sih, Ki?"
"Lah, emang gue berangkatnya jam segini. Emang kenapa?"
"Tap—"
"Lo kenapa gak kenalan sama Santi, lun?" Kiki memotong pembelaan yang akan dilontarkan oleh Luna tentang pertanyaannya. Dia kembali melihat raut wajah Luna yang kembali menundukkan kepalanya yang tanpa disadari oleh Kiki, mata Luna telah berkaca-kaca menahan air mata yang ingin tumpah.
"Gu—gue malu, Ki," jawab Luna dengan semakin dalam menyembunyikan air mata yang telah tumpah.
Kiki melihat gelagat Santi yang telah duduk di tempatnya yang sedang mengobrol dengan teman sebangku dan juga teman di depannya. Mereka sesekali melirik ke arah Luna dengan raut wajah yang tak bisa terbaca oleh Kiki.
Semoga ini gak semakin memburuk ke depannya buat Luna dan juga gue. Kiki memejamkan matanya dengan helaan nafas yang kasar.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
My Rival
Teen FictionLuna, gadis manis berotak cerdas yang tidak pernah bisa mendapatkan teman yang bisa dijadikannya sebagai seorang sahabat selama 9 tahun bersekolah. Namun, di tahun ke-10, Luna baru bisa mendapatkan seorang sahabat. Hari-harinya di sekolah pun beran...