Aku lupa, ini bukan film yang bisa aku sutradarai semauku.
✤Langkah kaki membawa gadis itu menuju sebuah tempat yang biasa disebut dengan kelas. Lesung pipinya terkadang terlihat, saat sesekali ia menyapa adik kelas yang terlihat manis dimatanya.
"Hai!"
Salting, Rindu tertawa jeli melihat mereka yang bertingkat kaku dan linglung, melihat sekitar mencoba memastikan bahwa dirinya yang Rindu sapa. Lalu, mencoba membalas sapaannya dengan suara nyaris tak terdengar.
Rindu meneruskan langkahnya, memasuki kelas yang sekarang masih ramai oleh anak-anak yang terus berdatangan.
"Rindu, lo gapapa kan kemarin?"
Rindu tersenyum kecil, duduk disamping Aya.
"Awalnya si kenapa-napa tapi endingnya boleh lah." Rindu menunjukan senyum jelinya.
"Jangan bercanda." Datar Aya.
Rindu tertawa kecil, "kemarin gue nunggu hujan berhenti di halte bus, terus—"
"Gila! Hujannya kemarin kan 3 jam lo nunggu disana selama itu?"
Potong Aya dengan ekspresi yang merasa bersalah.
"Denger dulu Aya. Gue belum selesai ngomong."
Aya menganggu menurut.
"Disana ada baik sama buruknya. Lo mau dengar yang mana dulu?"
"Baik."
"Baiknya gue ketemu sama Dipa."
Aya dapat menghela nafas lega. Rindu seperti kemarin tak lain adalah salahnya. Dia yang meninggalkan Rindu sendirian.
"Dan buruknya Dipa marah."
"What? Maksud lo marah yang kaya gini kan 'Rindu jangan kaya gini lagi. Lain kali kamu pergi sama aku. Izin sama aku. Kalo kamu kenapa-napa gimana? Jangan pergi sendiri nanti ada yang nyulik kamu. Jangan—"
"Sstt udah cukup cukup, Dipa marahnya bukan gitu lagi."
Rindu terkekeh sendiri, Aya sama persis seperti Dipa saat menceramahi dirinya.
"Dipa marah beneran ya?"
Rindu mengangguk, bayangan Dipa yang menatapnya tajam terbayang di benaknya.
Aya menatap Rindu serius, bersiap mendengar ceritanya.
"Ceritanya panjang males gue nyeritainnya. Lain kali aja."
Aya berdecak kesal, padahal dirinya sudah siap mendengar cerita Rindu. Dipa marah? Tidak bisa dipercaya.
"Rindu."
Seorang cowok berdiri didepan meja Rindu, rindu balas menatapnya.
"Kenapa?"
"Buat lo."
Rindu menerima sebatang cokelat dengan senyum dengan ciri khasnya.
"Thanks, farhan."
Farhan mengangguk, "lo suka coklat kan?"
Mata cokelat itu menyorot jeli, "suka. Tapi, ada hal yang lebih gue suka."
"Apa?"
"Senyum lo."
Farhan reflek tersenyum, mengacak rambut Rindu.
"Bisa aja lo. Udah punya pacar aja masih nakal."
Rindu terkekeh, "serius tau. Gula aja kalah sama senyum lo."
Rindu tak berbohong, saat Farhan tersenyum memang semanis itu. Gigi gingsulnya seolah menambah kesan manis. Tapi, tidak bisa mengalahkan senyum Dipa yang tulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
King Of Bucin [SELESAI]✔
Подростковая литератураBahkan teh yang terlalu banyak gula akan terasa pahit dan seumpama kopi yang terlalu manis akan kurang dinikmati. ••• Ini bukan kisah cinta yang rumit. Bukan pula tentang cinta segitiga ataupun segilima. Cinta ini sederhana, seperti Rindu yang menci...