Ending

485 67 14
                                    

"You are stronger than you think, believe in yourself." — Irene

***

Aku tidak tahu apakah keputusan ini adalah keputusan yang terbaik, tapi rasanya bahkan setelah semua perdebatan panjang dan pertimbangan yang tidak sudah-sudah, yang sudah berhasil aku lewati, aku ingin menyerah sekarang juga saat melihat lingkungan asing yang akan menjadi tempatku belajar satu tahun kedepan.

Aku memutuskan untuk menyusul Irene pindah sekolah ke Daegu.

Awalnya kedua orangtuaku menentang, tapi aku terus berusaha meyakinkan mereka bahwa sekolah baruku itu juga tidak kalah bagusnya dengan sekolah lama, dan aku berjanji untuk belajar lebih giat lagi meski sebenarnya tidak ada hari yang aku lewati tanpa belajar. Pada akhirnya mereka tidak punya pilihan lain selain mengabulkan permintaanku.

They are so understanding. I'm really glad to be a part of their family. To be their son.

Aku mengeratkan pegangan ku ke tali tas yang bertengger di bahu, masih tidak berani memasuki gerbang sekolah yang sudah ramai. Aku benar-benar benci jadi pusat perhatian dan keadaan sekarang dimana hampir seluruh siswa yang melewati gerbang dengan terang-terangan memandangku benar-benar tidak membantu sama sekali.

Menghela nafas sekali, mau tidak mau kakiku akhirnya bergerak memasuki gedung sekolah untuk mencari ruang administrasi.

Semoga hari ini berlalu dengan lancar.

***

Aku tahu aku tidak boleh terlalu banyak berharap. Kemungkinan aku akan ditempatkan dengan Irene di kelas yang sama sangatlah kecil. Meski aku tahu, tetap saja rasanya mengecewakan menerima kenyataan yang sudah bisa diprediksi itu.

Tadinya aku ingin memberikan Irene kejutan, tapi sepertinya aku harus bersusah payah dulu mencari gadis itu.

Sekolah ini juga luasnya terlalu luar biasa. Melihatnya saja sudah membuat kakiku merengek malas.

Aku memaksakan berjalan keluar kelas saat bel istirahat berbunyi nyaring, fakta bahwa aku harus menemukan Irene karena hanya dia satu-satunya orang yang aku kenal, juga entah kenapa hari ini ada lebih banyak orang yang ingin mengajakku berbicara—terutama murid perempuan. Aku tidak terbiasa. Aku harus cepat lari dari situasi ini.

Rupanya aku tidak perlu bersusah payah mencari, karena dalam sekejap aku sudah bisa menemukan kehadiran Irene hanya dengan melihat kerumunan murid yang ramai saling bersahutan menyuarakan dukungan.

Seharusnya aku sudah tahu, Irene tidak akan berhenti berbuat onar meski dipindahkan ke sekolah baru.

"Mustahil sekali ya tidak membuat ribut sehari saja?" Gumam ku pelan.

Aku bergerak membuat jalan untuk masuk ke tengah lautan manusia yang mengelilingi dua orang penarik perhatian itu. Bahkan dari belakang sini, aku bisa melihat dengan jelas bahwa itu punggung Irene.

Entah sesering apa aku memperhatikan Irene dua bulan ini, tapi aku bahkan bisa menebak sosoknya hanya dengan melihat sekelebat bayangannya saja.

Benar-benar hebat. Aku sebenarnya takut menjadi seterbiasa ini dengan seseorang. Aku takut dikecewakan, tapi tidak bisa menahan diri jika itu sudah menyangkut Irene.

Pain KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang