Hurt

77 1 1
                                    

Hari-hari Dion tak lagi sama. Senyum yang satu tahun lalu selalu terkembang, kini tak lagi nampak. Raut kaku itu kembali mendominasi wajahnya, netranya yang ramah dan bersinar hanya bertahan selama setahun.

Genap setahun. Pemuda itu sudah hampir bangkit sepenuhnya, mengingat masih ada orang tua yang harus dibanggakan. Dion selalu menyibukkan diri hingga membuatnya tumbang beberapa kali.

Bukan tak ingin berusaha untuk mencari Anya, hanya saja Ratih melarangnya. Wanita setengah baya itu mengatakan bahwa Anya benar-benar tak ingin ditemui. Lantas, apa yang bisa dia lakukan? Memang tak ada kata putus di antara mereka, tetapi Dion tahu, hubungannya telah berakhir.

"Pasti akan lebih baik kalau Dion gak pernah ketemu sama dia."

Tama menggeleng. "Ini yang terbaik. Kalau kamu gak kenal sama dia, gak pernah ketemu dan mencintai dia, mungkin kamu gak akan sadar." ujar pria itu menggantung. "Sadar bahwa cinta bukanlah tujuan akhir." Selanjutnya Tama menepuk bahu putranya lalu beranjak pergi.

Benar, cinta bukan segalanya. Dion merasa lebih baik sekarang, pemuda itu bersyukur dirinya menjadi lebih dekat dengan Tuhannya karena peristiwa satu tahun lalu.

"Dion, cepat mandi terus makan malam bareng!"

Pemilik nama itu menoleh. "Ya."

Cowok berparas tampan itu beranjak dari halaman belakang. Ibu tirinya selalu memperlakukannya seperti anak kecil, bahkan mandi saja selalu diingatkan, padahal Dion bisa mengatur waktunya sendiri. Omong-omong, pemuda itu sudah tak tinggal di rumah sewa, sepi katanya.

"Bu Ratih, biar Dion yang ambilkan lauknya," ujar pemuda itu ramah. Ia meraih piring Ratih dan mengisinya dengan berbagai lauk.

Ratih sudah dianggap sebagai anggota keluarga oleh seluruh penghuni rumah. Perempuan berwajah oval itu bahkan makan bersama di meja makan.

Tama tersenyum kala melihat Dion yang ramah, kendati anaknya kembali dingin dan cuek saat berada di luar rumah. Tak apa, dengan begitu Dion bisa lebih berhati-hati dengan orang yang berniat jahat. Kepergian Anya benar-benar menjadi satu titik balik bagi keluarganya.

"Nanti malam kamu ada misi?" tanya Carroline.

"Iya."

Wanita yang bekerja di sebuah penerbit majalah itu berbinar. "Mama ikut, ya?"

"Gak. Banyak nyamuk, pasti Mama gak suka. Mama 'kan rewel, nanti siapa yang jagain?"

"Papa?"

Tama menoleh. "Mager," jawabnya.

"Dion sendirian aja, ya?"

"Pokoknya Mama mau ikut, Mama mau jagain kamu!"

Tak boleh. Dion ingin menjalankan misinya dengan cepat, jika Carroline ikut, segalanya pasti menjadi lebih tidak teratur.

"Mama temenin bu Ratih aja di rumah, Dion bisa jaga diri, kok."

"Ajak aja si Mama," bujuk Tama yang membuat Carroline berbinar.

"Tapi, Pa--"

"Kamu mau jadi anak durhaka?"

Skakmat. Jika sudah begini, Dion hanya bisa menurut.

"Oke, Mama ikut." putusnya.

Pukul setengah sebelas malam Dion dan Carroline keluar rumah. Topeng yang menutupi wajah sudah terpasang di tempatnya. Dua kantung plastik berisi makan juga telah berada di tangan Dion.

Keduanya berangkat menggunakan mobil, memberi makanan secara diam-diam pada orang yang membutuhkan. Alasannya karena Dion tak suka berbasa-basi. Jadi, ia memilih membagikan makanan itu pada malam hari agar tidak ketahuan.

"Gak usah dibagunin, Ma."

"Nanti nasinya basi kalau gak cepet dimakan." Carroline mengulurkan tangannya untuk menyentuh seorang ibu-ibu yang tertidur di emperan toko.

"Gak bakal basi, kok."

Lihat, 'kan. Segalanya menjadi berantakan. Seharusnya ini berjalan lancar, cukup letakkan makanannya lalu pergi dari sana. Namun, Carroline malah bersikeras untuk membangunkan semua orang yang mereka datangi.

"Kalau Mama gak masuk mobil, Dion bakal tinggal Mama," ancam pemuda itu.

Carroline berdecak, wanita itu kembali ke dalam mobil dengan setengah hati. Anak ini pandai sekali mengancam orang lain.

Pukul dua belas malam, keduanya telah sampai di rumah, mereka bergegas membersihkan diri dan pergi tidur.

Tak ada yang tahu, disaat-saat tertentu pemuda kelahiran Mei itu meneteskan air mata, menyesali perbuatan dulu. Ia dan Anya telah saling menjaga dengan cara yang salah, mengikat diri dengan simpul tanpa kepastian, berdalih cinta. Allah melarang mereka.

Malam yang sepi menjadi saksi liquid bening mengalir deras melewati pipi. Pemuda itu bertekad untuk menjadi versi terbaik dirinya sendiri. Bukan untuk Anya atau orang lain, tetapi untuk Allah.

Dion [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang