Ragaku terpaku di tengah keramaian. Pandanganku hanya menaruh atensi ke satu titik, pada seorang anak adam dengan senyumnya yang seolah membiusku. Kelopak mataku bahkan enggan hanya untuk sekadar berkedip. Lengkungan di bibirnya itu bagai candu yang tidak bisa dilewatkan.
Semenjak itu, langkahku selalu terselip asa akan pandanganku yang menangkap sosokmu. Sebongkah daging di balik dada yang kerap kali bekerja lebih cepat dari biasanya, begitu kedua ujung bibir itu tertarik ke atas. Pelipur lara dari kenestapaanku akan dunia sekitar yang kejam. Darinya, aku mengerti perihal bahagia yang amat sederhana.
Jam dinding terus berputar lebih cepat di setiap harinya, hingga tidak terasa waktu yang paling kubenci telah tiba. Padahal rasanya baru sebentar aku mengenalnya, lewat senyum yang begitu menyejukkan hati. Dan kini, aku hanya termangu menatap punggung itu yang kian menjauh. Langkahnya yang diiringi senyum, tetapi meninggalkan jejak lara di sanubariku. Namun, tetap terselip nostalgia yang akan selalu kuingat.
RN, 20/12/2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika
RandomSebuah aksara yang tertulis tak berlisan. . . . Entah ini senandika atau bukan. Isinya hanya ungkapan yang tidak dilisankan