19. Masalahnya Harus Selesai

92 20 10
                                    

Ketika kau ingin membicarakan sesuatu yang serius pada kedua orang tuamu, lakukan saat makan malam. Dan inilah saatnya bagiku untuk membicarakan hal yang selama ini (sebenarnya selama tiga hari terakhir) mengganjal di dalam benak. Makan malam sedang berlangsung di rumahku.

Tadi aku, Tristan, dan Nova, pulang dari rumah Kakek dan Nenek pukul setengah enam sore. Dengan membawa masing-masing dua stoples kue kering buatan Nenek. Kata Nenek, Tristan dan Nova harus membagi kue tersebut dengan saudara-saudara mereka——sedangkan aku membagi dua stoples kue kering bersama diriku sendiri.

Ayah sedang memakan menu makan malamnya sambil berbincang dengan Bunda. "Jadi harga gas elpiji naik lagi?" tanya Ayah.

"Iya, naik lima ribu," jawab Bunda.

"Yang tiga kilogram juga sama?"

Bunda mengangguk. "Sama."

"Semua harga sembako saja naik."

Lengang. Aku pikir ini waktu yang tepat untuk memulai pembicaraan yang aku inginkan, tapi aku bingung harus memulainya seperti apa. Untungnya, Bunda bertanya, jadi aku tidak perlu pusing-pusing memikirkan bagaimana caranya membuka obrolan. "Aran, bagaimana tadi di rumah Kakek?" Sambil tersenyum manis.

"Seru," jawabku, sambil tersenyum. "Kami mendaki bukit dan pergi ke air terjun."

Ayah berhenti mengunyah makanan dan malah memperhatikanku dengan sebelah alis terangkat.

"Jadi, apa sekarang semua pertanyaanmu sudah terjawab?"

Aku mengangguk, juga tersenyum ke arah Bunda. Ayah masih mengangkat sebelah alisnya, sekarang dia menatapku dan Bunda silih berganti.

Aku mengubah ekspresi wajahku. "Tapi tidak semua pertanyaanku terjawab," kataku.

"Kenapa? Kau bertanya soal apa?" Lalu Bunda menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

Karena aku tidak mau melihat Bunda tersedak, aku menunggunya menelan makanan yang sedang dia kunyah. Dan selama menunggu itu, mereka berdua menatapku, dengan ekspresi penasaran. Tepat setelah Bunda sudah menelan makanannya, aku berkata, "Soal aku memiliki saudara kembar."

Suara air menyembur terdengar. Aku langsung melirik ke arah Ayah yang berada di sisi kananku. Ternyata dia sedang minum. Maaf Ayah, aku tidak memperhatikan Ayah. Dia langsung menyimpan gelasnya di atas meja, dan mengelap sisa air di dekat bibirnya, kemudian menatapku dengan tatapan yang, aneh. "Kau tahu dari mana soal itu?"

Aku menarik napas dalam-dalam. Aku menunduk, aku takut Ayah marah. "Aku... aku... aku tidak sengaja, mendengar obrolan Ayah dan Bunda. Malam itu, ketika Ayah masuk ke kamarku." Aku sedikit meliriknya sekilas. "Aku pura-pura tertidur. Maafkan aku. Aku berbohong."

Bunda mengembuskan napas. "Tidak apa-apa."

"Pantas saja tadi pagi kau bersikap berbeda pada Ayah," kata Ayah.

Aku masih menundukkan kepala. "Aku tidak bermaksud... menguping. Aku tidak menyangka Ayah dan Bunda... menyembunyikan sesuatu dariku. Aku... aku... merasa, tidak dianggap. Padahal aku sudah cukup besar untuk mengetahui hal itu."

"Sayang," panggil Bunda dengan suaranya yang lembut.

Aku mendongak menatapnya.

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang