18. Pisah Kamar

1.2K 81 8
                                    

Jam makan malam di keluarga Dika berlangsung dengan hening. Hanya ada suara dentingan garpu dan sendok yang saling beradu.

"Han, nanti kamu pulangnya dijemput Julian apa sendiri?" tanya Dika memulai pembicaraan. Jihan yang saat itu tengah fokus dengan makanannya, secara otomatis menoleh menatap ayahnya. "Sendiri. Nanti aku pake taksi aja."

"Kamu telepon Julian, minta jemput."

Jihan diam-diam meneguk ludahnya dengan susah payah. Ia tak mungkin melakukan itu, ia tak mau menambah kemarahan Julian padanya.

"Nggak usah, Pa. Jihan pulang sendiri aja, nggak papa kok," tolaknya secara halus.

"Nggak bisa gitu dong. Suamimu harus yang jemput kamu," sahut Iren.

"Halah, lagian tadi kan kak Jihan yang datang kesini sendiri. Manja banget minta dijemput segala," cibir Jingga yang masih fokus dengan makanannya.

Jihan tersenyum tipis. "Bener, Ma, Pa. Jihan bisa kok pulang sendiri. Tadi kan emang Jihan yang kesini sendiri."

"Kamu nih jangan dengerin kata-kata Jingga," balas Iren. "Udah kamu telepon aja Julian buat jemput kamu," putusnya secara final. Kalau sudah seperti ini, bagaimana bisa Jihan nolak? Tapi yang jadi persoalannya saat ini adalah ia tak memiliki nomor telepon cowok itu. Padahal udah hampir sebulan mereka menikah, tapi mereka sama sekali belum saling bertukar nomor telepon.

Jihan mengambil ponselnya yang ada di meja. Ia mengirim pesan terlebih dulu pada Julio untuk memberikan nomor ponsel kembarannya itu.

Julio

Kirimin nomernya Julian.

Tak lama kemudian, Julio langsung membalas.

Julio

Kirimin nomernya Julian.

Lo istrinya masa nggak punya.

Buruan!

Iya". Sabar
+62 897-****-****

Makasih

Jihan langsung menelepon nomor yang tadi diberikan Julio. Baru tiga kali nada sambung, Jihan sudah dapat mendengar suara suaminya itu.

"Halo. Ini siapa?"

Jihan diam. Ia tergagap dan bibirnya kelu. Bahkan ia sampe harus meneguk ludahnya. Ia bingung sekaligus takut.

"Halo?"

"Gue tutup nih kalo gitu."

Jihan buru-buru tersadar. "Eh, jangan ditutup."

"Siapa lo? "

"Jihan."

"Ngapain lo nelpon gue? Ganggu aja, nggak guna!"

"Bisa jemput gue dirumah Papa?"

"Males, lo pergi sendiri ngapain gue yang jemput lo."

"Yaudah." Setelah itu Jihan mematikan panggilan teleponnya secara sepihak. Ia meletakkan kembali ponselnya pada meja. Jihan menatap kedua orangtuanya yang juga sedang menatapnya dengan tatapan bertanya.

Julian Untuk Jihan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang