"Jangan menatapku begitu Dio." Suaraku memecah keheningan perpustakaan yang hanya ada beberapa orang disini, termasuk aku dan satu laki laki di depanku yang sedari tadi memandangiku.
Aku masih mengunyah permen karet yang sejak tadi menemaniku mengerjakan tugas memusingkan ini. Apalagi kalo bukan matematika, huh. . siapa sih yang menemukan pelajaran sesusah ini? hah. . . atau memang aku yang bodoh.
"Bisakah kau berhenti mengunyah permen karet itu." Aku meniup permen karetku didepan wajah Dio, ku tiup hingga membentuk bulatan besar bahkan cukup menghalangi pandanganku dari wajah Dio.
POOOKK!!!!
Balon permen karet itu meletus tepat didepan wajah Dio, seketika wajah Dio berubah kesal.
"Kita sedang belajar, berhenti bermain, dan fokus pada tugasmu."
"Siapa yang bermain? aku sedang mengunyah permen karet."
"Kalau begitu berhenti mengunyah dan buang permen karet itu, apa kau tak terganggu?"
"Tidak,"
"Tapi itu menggangguku."
"Kau tidak tau ya, kata orang jika kita mengunyah permen karet akan membuat otak kita menjadi pintar."
"Itu hanya teori dari orang bodoh yang tidak mau belajar."
"Maksudmu aku termasuk dari orang bodoh itu?"
"Aku tidak bilang kau bodoh." Dia tertawa pelan sambil kembali membaca buku didepannya. Ish lihat wajah tengilnya, terkadang Dio itu menyebalkan melebihi spongebob.
"Baiklah baiklah aku memang bodoh, jadi bantu aku mengerjakan ini tuan pintar." Ucapku dengan menekankan pada kata pintar.
Dia memangku dagu dengan tangan kanannya dan menatapku tajam. Aduh. . aku tidak nyaman ditatap seperti itu, apalagi sedekat ini, rasanya jantungku memompa semua darah untuk berkumpul diwajahku. Dan sudah dipastikan wajahku akan panas dan memerah, tanda jika aku sedang malu.
"Apa imbalan yang kudapat jika aku membantumu?" aku membuang muka darinya, jangan sampai dia tau jika aku malu. Dia. . ah. . entahlah kurasa dia punya tatapan maut atau apalah yang bisa membuat umurku berkurang karna sesak nafas dan mendadak jantungan. Oke, mungkin aku berlebihan. Tapi ini benar, aku membutuhkan oksigen sekarang.
"A. . aku hanya punya permen karet, kau mau?" aku menyodorkan 2 permen karet rasa mint kearah nya. Karna gugup aku mengunyah permen karet dengan cepat.
"Aku tidak mau." Dia mundur, melipat tangan didadanya dan bersandar dikursi. Ah akhirnya aku melewati masa kritis. Meskipun dia masih menatapku tapi yang penting tidak seintens dan sedekat tadi.
"Lalu kau mau apa?" aku masih mengunyah permen karet dengan nyaman.
"Aku heran padamu, sebenarnya apa enaknya permen karet itu?"
"Kau tidak tahu? apa kau tidak pernah makan permen karet?" dia menggeleng. Astaga, kurasa masa kecil kekasihku ini kurang bahagia karna sampai sebesar ini dia belum pernah merasakan sensasi mengunyah permen karet. Kasihan. ckckckck.
"Kalau begitu cobalah, rasanya menyenangkan." Sebenarnya aku tidak tau tepatnya rasa mengunyah permen karet seperti apa, tapi yah enak saja. Entahlah, jangan tanya lagi.
"Aku tidak mau." Aku menatapnya kesal sambil meniup permen karet yang kukunyah.
"Aku hanya ingin merasakan permen karet yang kau kunyah." Eh. . .tanpa kuduga Dio maju mendekat kearahku dan menempelkan bibirnya dibalon yang ku tiup tadi. Ya Tuhan jantungku.
GUBRAAAAAKK!!!!
Karna kaget aku mundur terlalu kuat membuat aku dan kursi yang kududuki terjungkal kebelakang.
Kepalaku. . . . . , kalian jangan bertanya bagaimana rasanya, kalian coba saja sendiri.
"Astaga! kau tidak apa apa?" Dio panik. Apa aku masih terlihat baik baik saja sekarang dasar Dio bodoh. Tidak puaskah dia membuatku jantungan, sekarang kepalaku menjadi korban. Jika nanti aku sampai gegar otak dia yang harus bertanggung jawab.
END.