Chapter 2 - Carter

115 36 31
                                    

Olivia's POV

Sebulan setelah ajaran baru, pemilihan ekstrakulikuler telah dimulai. Bahkan form sudah dikumpulkan. Seperti biasa, aku memilih apa yang aku suka, dan apa yang bermanfaat untukku. Judo, taekwondo, basketball. Aku adalah juara judo tahun lalu, dan tahun sebelumnya. Aku adalah juara untuk taekwondo. Tidak akan ada yang bisa mengalahkanku, dan belum ada yang bisa melakukannya.

“Carter!” Aku melangkahkan kaki ke depan ketika namaku disebut dan mengambil kertas hasil pre-tesku. Aku bukanlah anak yang cukup pintar, dan nilai yang kudapat pastinya mengecewakan orangtuaku.

“Aish!” seruku sambil berjalan kembali ke kursi. “Nggak guna banget sih!”

“Oli pasti dapet nilai jelek lagi,” kekeh salah satu teman sekolahku. Carla Kooper, anak yang sungguh menyebalkan.

“Nggak usah banyak bacot, Mata Empat!”

“Apa lu bilang?!”

Guruku menggebrak meja berkali-kali. “Yang di belakang diem!”

Dengan terpaksa, aku duduk di kursiku sendiri dan menatap keluar. Langit yang cerah, cocok untuk bermain basket. Ingin rasanya cepat-cepat istirahat dan keluar dari ruang kelas yang terasa sesak. Carla yang berbeda dua kursi dariku menatap tajam ke arahku. Dia anak yang gila belajar karena dia tidak dari keluarga yang berkecukupan, bahkan dia kekurangan dalam urusan wajah.

Bagiku dia hanya memalukan dirinya sendiri. Aku mengakuinya dalam bidang seni, tapi seni sangatlah tidak penting dan tidak berguna. Jika kau bukan orang hebat seperti Leonardo Da vinci, atau seperti Vincent Van Gogh, kau tidak akan bisa hidup, bahkan dipandang oleh orang. Seni adalah hal yang sia-sia dalam hidup, lebih baik menjadi orang yang dapat melindungi yang lain.

“Olivia! Fokus pada pelajaranmu!” Aku tersentak atas panggilan guruku. Panggilan ini membawa tawa kepada Carla dan beberapa anak lainnya. Anehnya, aku sama sekali tidak merasa malu seperti biasanya. “Kalian ini adalah anak kelas sembilan! Kalian harus fokus belajar dan mendapat nilai bagus! Mau jadi apa kalian dengan nilai yang di bawah rata-rata itu?”

“Ayah saya hanya lulusan SD, tapi dia bisa membuat perusahaan game, salah satu yang terbesar!”

“Jangan membantah perkataan saya!” Wajah guruku seketika memerah ketika anak di kelasku berucap seperti itu.

“Ibu saya tidak sekolah, dia adalah chef terkenal di New York!”

Di titik ini, guruku terlihat siap meledak. Apa memang pendidikan sepenting itu? Tidak sedikit anak yang bersekolah tinggi gagal dalam hidupnya. Tidak sedikit juga anak yang putus sekolah menjadi orang terkenal dan berharga. Apa semua itu memang sangat penting? Apa yang diajarkan masa sekarang adalah kebohongan besar.

Pelajaran dilanjutkan dalam suasana yang canggung. Kami semua diselamatkan dengan bunyi bel yang menandakan jam istirahat. Tepat setelah guruku keluar, aku segera mengeluarkan ponsel dan mengecek group chat-ku. Melihat percakapan mereka, sebuah senyum mulai muncul di bibirku. Jelas ini akan membuatku merasa lebih baik.

Masih dengan senyum yang lebar, aku memasukkan ponsel ke dalam kantong rokku dan berjalan keluar. Aku menuju taman yang menyatukan SMA dengan SMP, dan dari kejauhan ini aku sudah melihat Raquel dan Rachelle. Kukencangkan lariku dan bersiap untuk merangkul Raquel, dengan cekatan dia menghindariku, membuat Rachelle tertawa keras.

“Menyebalkan! Kenapa sih refleks lu bagus banget? Heran deh!”

Raquel menaikkan pundaknya, seperti menandakan dia tidak tau. “Makan apa? Kantin penuh.”

“Tenang aja. Kemaren sodara gua ada yang pesta, jadi makanannya ada di gua semua.” Rachelle menunjukkan tas besar yang ada di genggamannya.

“Wah! All you can eat gratis!” seruku dan langsung menyerbu kotak yang disuguhi Rachelle kepadaku.

Scars To Your Beautiful {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang