Raquel's POV
Rasa kantuk menghantamku sangat kuat. Mataku terus terasa seperti akan menutup, sedangkan kepalaku terus terangguk-angguk. Ini memang bukan yang pertama kali, namun ini adalah yang paling parah. Rachelle yang duduk di belakangku terus menepuk-nepuk pundakku cukup kencang agar aku tetap terjaga. Sialnya aku, guru sejarahku sudah sadar dengan kondisiku ini.
“Raquel, apa kau ingin berbagi apa yang kau lihat?” tanyanya.
“Ada apa dengannya?” Bisikan-bisikan anak lain mulai terdengar. Aku sendiri menatap papan yang ada, tapi pandanganku sedikit mengabur. Menyerah, aku menatap guruku dengan menantang.
“Kau tidak tau apa yang sedang aku ajarkan, bukan?” Lagi-lagi aku menjawabnya dengan keheningan. “Raquel Daniel Owen! Berani-beraninya kau mendiamkan gurumu! Jika kau memang tertidur, seharusnya kau mengakuinya dan minta maaf!”
“Lalu jika dia mengakuinya, apa tidak sama saja kau akan menghukumnya?” Rachelle menjawab dengan nada sarkas.
Guruku langsung terdiam karenanya. Dia terlihat kehilangan kata-kata, bahkan dia terlihat seperti ikan koi yang mengatup-buka mulutnya berkali-kali. Terlihat juga kalau telinganya memerah karena malu, dan pasti amarah. Aku memberikannya seringai khasku sebelum maju ke depan dan mengambil spidol di tangannya.
Tanpa basa-basi, aku melingkarkan presentasi atau bahan ajar guruku itu dan memberikan pembenarannya. Tidak tanggung-tanggung, aku menatap satu kelas tanpa ekspresi sebelum menjelaskan secara mendetail materi yang sedang dibawakan, bahkan artikel-artikel yang salah dengan cepat. Seluruh kelas menatapku dengan tatapan terkejut dan bingung, tidak sedikit yang membuka mulutnya karena merasa takjub, mungkin.
“K-kau!” bentak guruku yang membanting bukunya.
Aku mendengus dan menatapnya. “Apa Anda akan menghukum saya karena tidak mengikuti pelajaran? Tidakkah Anda lihat tadi kalau penjelasan saya lebih mendetail, bahkan semuanya benar? Materi yang Anda ajarkan lima puluh persen salah, apa tidak apa jika saya bilang kepada kepala sekolah?”
Mendengar kata kepala sekolah disebutkan, guruku tersebut langsung mematung. Kali ini wajahnya berubah pucat pasi. Bahkan dia terlihat seperti akan muntah kapan saja. Dugaanku benar adanya karena tak lama guruku langsung keluar sambil menutupi mulutnya. Satu kelas langsung bersorak ketika melihat guruku beranjak keluar kelas. Melihatnya pergi membuatku duduk kembali ke kursiku. Beberapa anak mengerumuniku dan mengapresiasiku.
“Lihat, lihat. Lagi-lagi dia sok keren, sok bisa.” Satu kelas langsung hening ketika mendengar suara itu. Aku menatap sumber suara untuk diperlihatkan Kiara Charlton yang masih menatap buku tulisnya.
“Nggak jelas! Napa sih lu?”
“Tau nih! Kalo mau ngeghibah jangan di sini kek! Ganggu!” Rena yang duduk di belakang Kiara terlihat menatap sekitarnya dengan bingung sebelum dia bertemu pandang denganku.
“Mau lu apa?” tanyaku dingin, mengalihkan pandanganku dari Rena.
“Mau gua? Lu ilang dari hadapan gua.”
Beberapa anak terlihat terkejut, bahkan ada yang mulai memperhatikan kami secara berganti-gantian. Responnya yang seperti itu bukanlah hal yang besar. Kata-kata lebih kasar dari itu pun sering aku dengar dan aku merasa hal tersebut bukanlah hal yang aneh. Semakin terkenal dirimu, maka akan semakin banyak haters yang kau miliki. Semakin berharga dirimu, maka orang akan mencoba menemukan kesalahanmu.“Kenapa nggak lu aja yang pergi? Kalo diliat-liat, kayaknya lu yang nggak dibutuhin di sini.” Ketika aku bangkit dari kursi, Rachelle menahanku. Kugelengkan kepala dan melepas genggamannya. Dengan tangan yang kusilangkan di depan dada, aku melangkah mendekati Kiara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scars To Your Beautiful {END}
Teen FictionEveryone has a story that they never tell others, even the closest person Tidak semua orang akan bertahan hidup dengan penuh tekanan, tidak terkecuali mereka. Tuntutan yang dimiliki oleh setiap manusia akan mengubah sikap setiap orang. Keinginan unt...