Olivia's POV
Setengah bulan sudah berlalu untuk persiapan talent show dengan didampingi acara lainnya. Bahkan mengundang artis yang sedang naik daun. Aku sendiri baru melakukan rehearsal untuk besok. Anak-anak dari tim taekwondo yang terpilih dapat menampilkan beberapa trik kami di atas panggung nantinya. Dan apa pun yang terjadi, aku pasti menjadi salah satu center. Daniel selalu berkata kalau aku cocok untuk posisi itu.
Perjalanan pulangku berlangsung cukup lama, hingga satu-satunya harapanku adalah, semoga ayahku terjebak macet. Tidak jauh dari rumah, tiba-tiba Samuel meneleponku. Nada bicaranya sangat panik, dan kata-kata yang dia ucapkan terbata-bata. Sama sekali aku tidak dapat mengerti apa yang dia bicarakan. Meski begitu, aku yakin maksud dari pesannya itu sangat penting.
“Kenapa sih, Sam? Gua nggak ngerti lu ngomong apa!” omelku. Aku dapat mendengarnya menghela napas.
“Ayah, rumah.” Telepon pun dimatikan. Kutatap layar ponselku yang sudah mati dengan bingung. Ayah? Rumah? Apa maksudnya ayah sudah ada di rumah?
“Pak, tolong percepat lajunya!” Langit yang gelap menemani suasana hatiku malam ini. Hari yang sunyi.
***
“Lu makan di sana? Katanya mahal-mahal semua, kan?”
“Mahal? Nggak lah! Itu harga standard, apa lagi soal kualitasnya. Yang bilang di sana itu mahal namanya miskin!”
Suara tawa dapat terdengar dari anak-anak perempuan yang berkumpul di kelasku. Begitu masuk, semua orang berhenti berbicara dan memandangku. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk kembali ke perbincangan yang sebelumnya. Uang … apa itu sangat berharga hingga dijadikan sebagai tolak ukur suatu hal? Mengapa harus kaya jika ingin dipandang?
Merasa terganggu, aku kembali keluar dari kelas dan langsung menuju ke ruang latihan. Belum banyak yang datang, tapi aku tidak peduli. Daniel terlihat sedang mempersiapkan untuk acara nanti. Tidak ada satu anak pun yang sudah datang membantunya sehingga aku memutuskan untuk menolongnya. Bukannya mendapat respon yang baik, orang-orang justru mengataiku atas tindakanku ini.
“Idih! Mau banget dipuji sih! Najis!”
“Anjir … dia ngapain sih? Dari kemaren gitu terus perasaan.”
“Itu mulut bisa ditutup nggak? Kalo lu pada emang gak mau bantu mending diem aja, nggak usah banyak bacot!”
“Sialan! Sok jagoan banget lu!” Salah satu anak, yang merasa lebih hebat dari yang lain, langsung berdiri dan mendorongku, membuat seluruh matras yang aku bawa terjatuh.
Tidak hanya sampai situ. Dia kembali menyerangku tanpa menggunakan trik apa-apa. Aku segera menahan tangannya dan memelintirnya. Padahal apa yang kulakukan ini sama sekali tidak menyakitkan, tetapi anak itu menjerit dengan sangat keras, membuat Daniel keluar dari ruangan penyimpanan. Dia terlihat panik dan bingung sebelum menarik tanganku dan menggenggam pergelangan tanganku, dia bahkan menarikku agar menjauhi anak yang masih merintih kesakitan.
“Carter! Apa yang kau pikir kau lakukan? Hari ini adalah hari penting! Tidak boleh ada anggota yang terluka, mengerti?”
“Dia yang mulai lebih dulu.” Anak itu mendengus dan memutar bola matanya.
“Lu yang duluan marah-marahin kita, ya! Lu yang bilang kali kita nggak ada otaknya!”
“Baj*ngan!” Kakiku berusaha untuk berlari, namun Daniel berdiri di hadapanku.
“Liatin aja! Bar-bar!”
Sejuta sumpah serapah aku keluarkan, tapi ini membuat Daniel semakin marah. Dia lagi-lagi menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku keluar dari ruangan. Matanya menunjukkan amarah, napasnya menderu seperti habis berlari jauh. Tubuhnya juga mengeluarkan aura panas. Semua ini membuatku ingin merangkak ke bawah batu, kalau hal tersebut bahkan bisa terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scars To Your Beautiful {END}
Fiksi RemajaEveryone has a story that they never tell others, even the closest person Tidak semua orang akan bertahan hidup dengan penuh tekanan, tidak terkecuali mereka. Tuntutan yang dimiliki oleh setiap manusia akan mengubah sikap setiap orang. Keinginan unt...