Chapter 04; Learning To Hate You As A Self Defense

899 206 151
                                    


‧͙⁺˚*・༓☾ Chapter 04 ☽༓・*˚⁺‧͙
Learning to hate you as a self defense.

[ please play the mulmed]

Roda mobil terus memutar menyusuri jalanan yang tidak terlalu ramai di sore ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Roda mobil terus memutar menyusuri jalanan yang tidak terlalu ramai di sore ini. Dari balik jendela, iris mata terang itu menatap pepohonan yang menerbangkan imaji seorang perempuan dan anak laki-laki yang saling berlarian dengan telanjang kaki di atas rerumputan yang menyisakan embun.

Di hari Sabtu ini, Theo—sahabat Johnny dari SMA, mengantarnya ke bandara karena Johnny hendak kembali ke Surabaya. Theo melirik pria di sampingnya yang terlihat murung sedalam perjalanan tadi. Theo menghela napas sebelum akhirnya memutar stirnya untuk putar balik.

"Lo ... kenapa puter balik?" Menyadari mobilnya tidak melaju sesuai tujuan, Johnny mengerutkan dahinya bingung.

"Rumah lo kan di sana."

"The ... yang bener." Sorot mata Johnny menjadi serius.

Theo menyengir. "Pamitan dulu lah sama emaknya si Harsa."

"Tapi—"

"Tapi mulu kayak anak gadis aja." Theo memotongnya dengan cepat. Tampaknya pun, Johnny tidak menampik perintah sahabatnya yang sudah mengenalnya dan Zoey cukup lama.

۰˚☽ The Weight of Our Days ۰˚☽

Suara ketukan pintu terdengar namun pintu tak kunjung dibuka oleh sang pemilik rumah. Theo yang menunggu dari dalam mobil pun ikut keluar, memeriksa keadaan. "Nggak ada?" tanya Theo.

"Kayaknya dia pergi. Mobilnya nggak ada," jawab Johnny seadanya.

"Pergi ke mana ya kira-kira?"

Johnny sempat terdiam sejenak. "Ada dua tempat yang kemungkinan Zoey pergi. Makam Harsa sama ..."

Theo mengangkat alisnya sebelah sebelum akhirnya Johnny melanjuti. "Kantor polisi yang di perempatan tadi."

"Hah?"

"Lo inget kan gue pernah cerita kalau Zoey sempat dua kali ke kantor polisi, nyariin Harsa?"

Theo mengangguk lalu beranjak. "Oke, kita ke makam dulu. Kalau nggak ada, baru ke kantor polisi."

۰˚☽ The Weight of Our Days ۰˚☽

Tujuh senja telah berlalu namun kepedihan yang dirasa olehnya tak kunjung padam. Langit kembali pecah seperti kemarin, membiaskan rintik-rintik hujan yang terbentur dengan kaki bumi. Suara sepatu yang beradu menarik perhatian penguhi kantor kepolisian setempat.

Beberapa mata menyorot wanita dengan langkah gusar yang menuju tempat yang sama. Tak peduli rambutnya sudah setengah lengas, tujuannya tetap satu—meluapkan perasaan emosional yang tak kuasa dibendung.

The Weight of Our DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang