Langit malam itu berwarna kelabu, seperti enggan menampilkan bintang-bintang. Angin dingin menyapu lembut, membawa serta aroma basah dari hujan yang baru saja reda. Di bawah remang lampu jalan, seorang gadis berdiri terpaku. Tubuhnya diam, tetapi di dalam hatinya, badai tengah berkecamuk. Dunia di sekitarnya bergerak seperti biasa—deru kendaraan, langkah kaki orang-orang yang terburu-buru—namun baginya, semuanya terasa begitu jauh. Seolah-olah ia sedang berdiri di tepi jurang yang dalam, sendirian.
Ia telah melangkah sejauh ini, memberikan seluruh jiwa dan raganya untuk sesuatu yang ia yakini. Ia percaya pada usaha, pada doa-doa yang ia panjatkan dengan sepenuh hati, pada janji bahwa segalanya akan baik-baik saja selama ia tidak menyerah. Namun, pada akhirnya, kepercayaan itu retak. Semua upayanya, semua air mata dan malam-malam penuh doa, tak cukup untuk melawan kehendak takdir.
Dia ingat setiap momen—setiap senyuman, setiap tawa yang dulu begitu hangat, setiap janji yang pernah diucapkan dengan keyakinan. Harapan mereka pernah setinggi langit. Mereka percaya bahwa cinta, jika cukup kuat, mampu menembus batas apa pun. Tetapi kenyataan berbicara lain. Harapan yang begitu rapuh itu kini hancur di tangannya, seperti pasir yang tidak bisa ia genggam. Semakin erat ia mencoba memegangnya, semakin cepat semuanya hilang.
Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab mengisi pikirannya. Apa yang salah? Di mana letak kesalahannya? Mengapa takdir begitu kejam mengambil sesuatu yang telah ia perjuangkan dengan sekuat tenaga? Ada rasa kecewa yang menyayat, rasa sedih yang menenggelamkan, dan rasa marah yang ia sendiri tak tahu harus ditujukan kepada siapa. Bahkan kepada Tuhan, ia ragu untuk menyalahkan.
Malam semakin larut, dan dingin semakin menggigit kulitnya. Namun, ia tidak bergerak, seperti akar yang menancap ke tanah. Tubuhnya mematung, tetapi di dalam hatinya, ada suara kecil yang berbisik, mengingatkannya akan sesuatu: menerima. Kata itu terasa asing dan pahit, tetapi ia tahu, di ujung semua ini, mungkin hanya itu yang tersisa.
Menerima bahwa tidak semua yang diinginkan dapat terwujud. Menerima bahwa kadang-kadang, sekeras apa pun berusaha, takdir akan tetap berjalan sesuai kehendaknya. Menerima bahwa tidak semua luka akan sembuh, tetapi ia harus terus berjalan, meskipun dengan langkah yang tertatih.
Malam itu, gadis itu tidak menemukan jawaban. Ia hanya berdiri, menatap gelap yang menyelimuti. Tapi di sudut hatinya yang paling kecil, ada harapan yang hampir tak terlihat. Harapan bahwa mungkin, suatu hari, cahaya akan kembali bersinar.
Untuk saat ini, ia hanya bisa bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3]. HOPELESS || WENYEOL
FanfictionSetiap manusia punya harapan. Berjuang untuk mewujudkannya adalah hal yang lumrah. Namun, bagaimana jika usaha yang sepenuh hati justru berakhir sia-sia? Ketika takdir berbicara lain, dan mimpi yang dirajut terurai menjadi kekecewaan, apa yang tersi...